JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pengamat Hukum Tata Negara Masnur Marzuki menilai konflik yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak sulit untuk diselesaikan. Sebab, AD/ART partai tersebut sudah mengatur dengan jelas hal-hal prinsip dan kerumahtanggaan partai, terutama soal penyelenggaraan muktamar.
Menurut Masnur, yang penting Kementerian Hukum dan HAM sebagai pencatat adminitratif tidak ikut bermain politik.
"Tidak ada kesulitan untuk menentukan kepengurusan mana yang sah di PPP, karena PPP Djan Faridz merupakan hasil muktamar setelah pelantikan presiden, maka dia adalah ketua umum yang sah," ujar Marzuki kepada pers di Jakarta, Kamis (7/5/2015).
Dalam AD/ART PPP disebutkan, "Muktamar baru bisa dilaksanakan setelah pemerintahan baru terbentuk dan paling lambat 1 tahun setelah pemerintahan baru terbentuk."
Sebagaimana diketuhui, Muktamar PPP di Surabaya yang memilih Romahurmuziy sebagai ketua umum digelar pada 15 Oktober 2014. Sedangkan Muktamar Jakarta yang memilih Djan Faridz sebagai ketua umum dilaksanakan pada 30 Oktober 2014. Sedangkan pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dilaksanakan pada 20 Oktober 2014.
Marzuki mengatakan, berlarut-larutnya konflik di PPP sebagai akibat Kementerian Hukum dan HAM ikut bermain politik. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, kata Masnur, tidak bersikap sebagaimana semestinya dalam melakukan tugas administratif pengesahan partai politik.
Masnur yang merupakan kandidat doktor dari University of Giessen, Jerman ini mencontohkan, Yasonna melakukan standar ganda dalam menentukan pengesahan partai. Terhadap Partai Golkar, Yasonna menjadikan keputusan Mahkamah Partai sebagai dasar utama rujukannya. Sementara terhadap PPP, Yasonna memakai dasar kubu mana yang duluan mendaftar ke Menkum HAM.
"Padahal, dilihat dari waktu pelaksanaan muktamar, dapat mudah dilihat mana PPP yang sah dan mana yang tidak," jelasnya. (iy)