Bisnis
Oleh Kamsari pada hari Senin, 18 Nov 2019 - 19:25:55 WIB
Bagikan Berita ini :

Cegah Kartel Perdagangan Nikel, Perbaiki Regulasi Pertambangan

tscom_news_photo_1574079955.jpg
Anggota DPR RI, MH Said Abdullah (Sumber foto : ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Dugaan praktek kartel perdagangan nikel domestik oleh pabrik smelter yang telah beroperasi di Indonesia kian meresahkan pengusaha disektor pertambangan nasional.
Selain merugikan pemiliik Ijin Usaha Pertambangan (IUP), praktek persaingan usaha tidak sehat itu juga membuat Negara kehilangan pendapatan hingga puluhan triliun setiap tahunnya.

“Saya kira, perlu ada Tata Niaga Nikel untuk melindungi penambang nikel dari praktek kartel perdagangan nikel domestik. Kartel ini sebuah kejahatan koorporasi yang merugikan Negara dan ada unsur tindak pidana korupsinya,” jelas Anggota DPR RI, MH Said Abdullah di Jakarta, Senin (18/11/2019).

Karena itu, jelas Said, praktek kartel ini harus diamputasi. Sebab, praktek bisnis tidak sehat seperti ini merusak iklim usaha di Indonesia yang pada gilirannya akan menurunkan daya saing sektor pertambangan di Indonesia.
Dampaknya pun, sektor pertambangan Indonesia akan semakin tertinggal jauh dari negara lain.

“Kartel ini bukan hanya merusak harga, bahkan menurunkan kualitas nikel para penambang kecil, dengan cara tidak mengakui hasil laboratorium surveyor yang ditunjuk Kementerian ESDM dan melakukan uji lab sendiri,” terangnya.

Salah satu model memangkas mata rantai kartel, jelas Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini, dengan cara melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia. Termasuk, kata dia, mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 karena menimbulkan ketidakpastian berusaha.
Hal ini penting agar dalam penyusunan peraturan pemerintah akan sempurna sehingga dapat dijalankan untuk kepentingan kemakmuran rakyat.

“Intinya kekayaan alam Indonesia yang sangat potensial ini harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya,” jelasnya.

Politisi Senior PDIP ini melihat bisnis perdagangan nikel saat ini tidak sehat. Indikasinya, banyak yang membeli harga nikel di bawah Harga Patokan Mineral (HPM). Hal ini jelas melangggaran aturan Dirjen Minerba Kementerian ESDM. Untuk itu, pemerintah harus memberikan sanksi tegas kepada perusahaan-perusahaan nikel yang membeli harga nikel di bawah harga patokan.

“Pemerintah juga harus turun langsung ke lapangan.Jangan melihat masalah tambang nikel di daerah dari menara dan gedung bertingkat di Jakarta,” pintanya.

Dia yakin, melihat langsung persoalan di lapangan sangat penting agar lebih sempurna menyusun regulasi di sektor pertambangan.

Said mengaku kebijakan pelarangan ekspor nikel merupakan langkah visioner untuk membangun industri pertambangan nasional. Visi tersebut yakni meninggalkan pola pembangunan ekstraktif (hanya gali) menuju pembangunan berbasis nilai tambah dengan cara membangun pabrik pembangun smelter.
Hanya saja, ujarnya, mayoritas pabrik nikel yang sudah beroperasi ini hampir 80 persen adalah korporasi nikel dari Cina yang memiliki kemampuan finansial cukup untuk membangun pabrik smelter nikel. Sementara perusahaan domestik yang baru membangun pabrik nikel masih sedikit lantaran ketidaksanggupan finansial.

“Kebanyakan pabrik-pabrik nikel ini berasal Tiongkok,” terangnya.

Hal ini membuat perusahaan China ini kerap melakukan monopoli bisnis.

“Jumlah mereka sangat sedikit tetapi mereka memiliki dana besar bangun smelter. Mereka tidak memiliki lahan konsensi nikel yang luas dan bahkan ada perusahaan yang tidak memiliki konsensi (hulu),” ulasnya.

“Mereka hanya mengharapkan biji nikel dari konsensi tambang kecil-kecil miliki pengusaha kecil Indonesia yang tidak memiliki cukup dana untuk membangun smelter,” tuturnya.

Lantaran terdesak kebijakan pelarangan ekspor, konsensi kecil-kecil itu harus menjual biji nikel ke pabrik-pabrik smelter. Sementara pabrik smelter melakukan kartel untuk menurunkan harga pasar.

Akibatnya, mereka mematok harga sesuka mereka. Padahal, ada HPM yang sudah ditetapkan Dirjen Minerba dan mengikuti harga pasar London Stock Metal.

Jika mengikuti harga HPM, harga nikel seharusnya mencapai US$32/metric ton, tetapi pabrik-pabrik smelter hanya membeli biji nikel dari pengusaha jauh di bawah harga sekitar US$15-US$20/metric ton”.

“Harga transakai jauh lebih rendah atau tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan. Mengingat harga jual rendah maka nilai obyek pajak juga rendah yang masuk ke negara (negara dirugikan),” tuturnya.

Pemerintah telah menganulir kebijakan relaksasi impor biji nikel dari sebelumnya sampai 31 Desember 2022 menjadi hanya 31 Desember 2019.
Percepatan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No 11 tahun 2019 tentang perubahan kedua Permen ESDM No 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Perubahan kedua Permen ESDM tersebut dengan penambahan pasal 62 A yang memuat ketentuan tentang ekspor bijih nikel kadar dibawah 1,7%, rekomendasi ekspor yang diberikan kepada pemegang IUP operasi produksi sebelum regulasi baru ini ditetapkan berlaku sampai 31 Desember 2019.
Kedua, rekomendasi ekspor yang diberikan setelah revisi permen ini diberikan hanya sampai 31 Desember 2019.

Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) melaporkan dugaan kartel harga nikel yang dilakukan dua smelter besar yang beroperasi di dalam negeri dan menyerap nikel hingga 60%, sehingga mereka menguasai harga lokal.

“Dua Perusahaan (smelter besar tersebut) menjadi barometer bagi smelter-smelter kecil mengikuti harganya. Mereka menyerap lebih dari 60% demand dan mayoritas, makanya menguasai harga. Jadi Smelter lain mau nggak mau ikut (harga) mereka,” ungkap Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey.(plt)

tag: #izin-usaha-pertambangan  #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement