Untuk mempertahankan perekonomian nasional agar tidak jatuh dalam resesi berkepanjangan, kita memang perlu melakukan kebijakan counter cyclical yang kuat. Kuat dalam artian tidak tanggung-tanggung. Tidak tanggung-tanggung karena memang yang dihadapi adalah peristiwa perekonomian yang luar biasa.
Luar biasa disebabkan asal muasal persoalannya bersumber dari suatu krisis ekonomi. Tapi bersumber dari peristiwa pandemic virus corona, COVID-19. Secara tiba-tiba, roda perekonomian terhenti, didalam maupun di luar negeri. Perekonomian secara tiba-tiba mengalami crash landing, dan mesti masuk kedalam ruang ICCU.
Sampai- sampai kongres Amerika Serikat meloloskan paket ekonomi senilai US $ 2,2 triliun, terbesar pasca perang Dunia ke-2 hanya dalam waktu dua minggu. Demikian juga dengan Bank Sentralnya, The Federal Reserve, mengeluarkan kebijakan diluar pakem kebanksentralan melalui kebijakan Asset Purchase Program yang non limit dan juga menyasar sektor riil.
Saya pribadi mendengar ada pembicaraan di kalangan pengambil kebijakan yang mendiskusikan besaran paket kebijakan yang rentang nilainya berkisar Rp 200-400 trilliun. Sejauh ini, Bank Indonesia sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 300 Triliun dari cadangan devisa untuk mengatasi gejolak ekonomi. Seingat saya, sejak tahun 2004, ini adalah intervensi terbesar otoritas moneter yang dilakukan dalam satu kurun waktu yang sangat singkat.
Yang dilakukan oleh BI itu adalah kebijakan jumbo untuk ukuran Indonesia. Apalagi jika betul-betul nantinya pemerintah dan DPR juga bersepakat mengeluarkan paket kebijakan yang nilainya setara dengan pengeluaran BI, yaitu Rp 300 triliun. Dengan mengasumsikan bahwa BI akan menggunakan secara optimal kekuatannya, maka dalam beberapa bulan kedepan kita akan melihat suatu aksi kebijakan ekonomi bernilai Rp 500-600 trilliun. Jumlah yang sangat besar.
Mari kita pikirkan soal ini dengan tenang dan kepala dingin. Dan mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Untuk apa kebijakan itu? Kepada siapa kebijakan itu ditujukan? Sampai Kapan?
Pertanyaan pertama berhubungan dengan argumentasi yang mendasari kebijakan itu. Pertanyaan kedua menyoal “ keberpihakan kebijakan “. Dan pertanyaan ketiga endurance kebijakan.
Karena kebijakan yang akan diambil itu merupakan kebijakan defisit, dan karenanya berhubungan dengan hutang baru, yang sudah tentu akan mengundang polemik, maka argumen dasarnya haruslah solid dan transparan.
Solidnya argumentasi itu terletak pada keyakinan bahwa itulah cara terbaik dan satu-satunya jalan yang mesti diambil utk mencegah pemburukan ekonomi yang dalam. Suatu keadaan perekonomian yang sulit dan akan lebih mahal untuk recovery. Jadi argumentasi ini haruslah merupakan jawaban untuk menghentikan pendarahan lanjut perekonomian dan memberi kesempatan kepada fungsi-fungsi perekonomian untuk kembali dapat berfungsi secepat mungkin.
Dengan demikian, besaran anggaran yang diperlukan juga merupakan cerminan dari keyakinan argumentatif itu. Atau dengan kata lain, besaran biaya yang dikeluarkan haruslah sebanding atau lebih besar dari resiko yang dihadapi.
Kepada siapa kebijakan itu ditujukan. Dalam hal ini otoritas mesti jernih betul dalam soal keberpihakannya. Tentu publik sangat tidak menghendaki kebijakan yang berbau krisis 1998. Yang menjadi korban utama dalam krisis ini adalah perekonomian riil. Lebih terangnya adalah perekonomian rakyat sehari-hari. Dalam kategorisasi sektor, yang terpukul keras itu adalah sektor UMKM.
Memang ada pukulan kuat juga pada sektor pariwisata, perhotelan, transportasi dan sektor makanan khususnya restoran dan warung-warung rakyat. Tetapi jangan dilupakan bahwa sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kebanyakan menderita sangat berat. Ke titik-titik inilah seharusnya yang menjadi titik berat keberpihakan kebijakan ekonomi.
Saya malahan beranggapan. Inilah saat yang tepat untuk mereposisi struktur perekonomian nasional dan mendorong keseimbangan baru dimana peran perekonomian UMKM menjadi lebih kuat. Sektor-sektor produktif ekonomi rakyat kebanyakan itu yang harus diperkuat habis-habisan. Now or Never.
Dalam bahasa yang lebih terang. Tidak usah khawatir dengan korporasi besar. They have plenty of money and plenty of chances. Infrastruktur penguasaan aset-aset mereka solid dan sanggup merestrukturisasi dirinya dengan banyak pilihan strategik.
Yang tidak kalah pentingnya adalah soal endurance kebijakan. Sistem fiskal kita bersifat tahunan. Karena itu menjadi kritikal untuk juga menyertakan perspektif daya ungkit kebijakan ekonomi yang akan diambil.
Kebijakan ekonomi berskala besar yang akan diambil untuk mengatasi ketiba-tibaan krisis yang dihadapi, menyebabkan kebijakan itu dituntut untuk sekaligus juga merupakan exit strategy bagi langkah-langkah pemulihan lanjutan di tahun fiskal berikutnya. Memfokuskan diri pada strategi “bantalan” (cushion) akan berdampak pada kemungkinan biaya mahal yang tidak efektif.
Kuncinya adalah kebijakan bauran yang meliputi penanganan jangka pendek terhadap shock perekonomian, khususnya ekonomi rumah tangga dan UMKM, dengan alokasi maksimum untuk menangani sumber persoalannya, yaitu pandemi COVID-19. Pada saat yang sama menyiapkan landasan kebijakan untuk tahun fiskal berikutnya mencerminkan upaya untuk memulihkan fungsi-fungsi perekonomian.
Dalam hal ini, pelebaran defisit dilakukan secara bijak dengan tidak menumpuknya di tahun ini, tetapi juga disebar ketahun depan. Ringkasnya, kapasitas pembiayaan defisit tidak dihabiskan dalam tahun fiskal ini saja tapi juga dipersiapkan untuk tahun berikutnya. Dengan begitu, struktur hutang tetap dalam batas yang bisa dikendalikan.
Endurance ini diperlukan di tengah ketidakpastian global. Pemulihan ekonomi global sangat bergantung pada kemampuan adaptif manusia dan para pengambil kebijakan, dalam mengatasi pandemi corona ini. Sifat mobilitas dan interaksi manusia, yang menjadi dasar bagi perekonomian global adalah korban utama dari pandemi COVID. Tentunya, selain nyawa manusia.
Semoga Allah SWT menolong bangsa dan negara kita keluar dari situasi krisis ini.