Hanya dalamhitungan jam sesudah Rapat Paripurna (Rapur) DPR-RI tanggal 12 Mei 2019 lalu menyetujui / menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu 1/2020) untuk ditetapkan menjadi undang-undang, maka muncul tagar #dprbunuhdiri# di media sosial tertentu yg digerakkan oleh para buzzers kelompok yang memang "berseberangan" dengan Pemerintahan Jokowi.
Selain postingan bernada "hate-speech" di media sosial, juga ada sejumlah opini yang ditulis di media online, antara lain oleh Hersubeno Arif (HA), jurnalis "opposan" berjudul "Bunuh Diri Massal Anggota DPR". Viral pula video yang memuat pernyataan Rizal Ramli (RR), mantan Menteri Kordinator selama belasan bulan pada kabinet Jokowi periode pertama tentang "memalukannya" anggota DPR. Tentu semuanya hal yang biasa saja dalam alam demokrasi di negara yang konstitusinya menjamin kebebasan berekspresi seperti Indonesia ini.
Yang agak luar biasa adalah bahwa pendapat yang disampaikan baik dengan tulisan maupun secara lisan hanya melihat pada keputusan Rapur DPR-RI yang mengesahkan Perppu 1/2020 tersebut untuk menjadi undang-undang. Dalam sudut pandang mereka seharusnya DPR-RI menolak Perppu 1/2020. Mereka tidak merasa perlu melihat pada agenda dan keputusan Rapur DPR-RI lain-nya di tanggal tersebut, khususnya yang disampaikan oleh Menteri Keuangan RI sebagai wakil pemerintah terkait Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) dalam rangka RAPBN Tahun Anggaran 2021.
Mereka juga tidak merasa perlu merujuk dan mendalami sikap delapan fraksi di DPR-RI sebelum pada akhirnya menyetujui Perppu 1/2020 sebagaimana tertuang dalam risalah dan catatan-catatan yang dibuat fraksi-fraksi atas Perppu 1/2020 sebelum diambil keputusan di Rapur DPR. Mereka tampaknya juga tidak melihat undang-undang lain yang relevan untuk dibandingkan dengan Pasal 27 Perppu 1/2020. Yang penting bagi mereka bisa berteriak bahwa Pasal 27 tersebut memberikan kekebalan (imunitas) hukum terhadap para pejabat otoritas fiskal dan moneter serta yang dianggap "mengebiri" fungsi anggaran (budgeting) DPR-RI.
DPR kehilangan fungsi anggaran?
Concern bahwa DPR-RI akan kehilangan kewenangan konstitusionalnya di bidang anggaran seperti disampaikan sejumlah kalangan masyarakat sipil, termasuk HA dan RR, sebenarnya bisa dipahami. Awalnya banyak anggota dan fraksi-fraksi DPR-RI juga punya concern yang sama begitu membaca isi Perppu 1/2020. Namun ketika Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan menyatakan akan menyampaikan KEM dan PPKF dalam rangka pembahasan RAPBN Tahun Anggaran 2021 dan kemudian hal ini menjadi agenda Rapur DPR-RI tersebut, maka kekhawatiran tentang hilangnya atau dikebirinya hak-budget DPR-RI menjadi hal yang berlebihan.
Seandainya Pemerintah hendak "jalan sendiri" dalam merencanakan, memutuskan dan mengimplementasikan APBN tanpa melibatkan DPR-RI dengan bersandar pada Perppu 1/2020 tersebut, maka tentu tidak perlu repot-repot Menteri Keuangan berpidato menyampaikan KEM dan PPKF dihadapan Rapur DPR-RI. Apalagi bagian pidato tersebut menyatakan bahwa apa yang disampaikan itu akan menjadi pembahasan lebih lanjut antara DPR dan Pemerintah pada masa sidang yang akan datang sebagaimana siklus pembahasan RAPBN tahun-tahun sebelumnya.
Jadi opini bahwa fungsi anggaran DPR-RI akan hilang dengan adanya Perppu 1/2020 terlalu prematur dikemukakan. Apalagi nanti jika pembahasan RAPBN 2021 di ruang Komisi - Komisi dan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI telah dimulai, maka opini tersebut menjadi tidak benar.
Bagaimana dengan kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah (baca: Menteri Keuangan) untuk melakukan penggeseran atau re-focussing anggaran dalam APBN yang diberikan dalam Perppu 1/2020. Kewenangan ini harus diakui mengurangi hak budgetting DPR-RI, tapi bukan meniadakan. Normalnya APBN digeser atau di-refocussing pada program yang bukan satuan tiga, maka ini dilakukan melalui proses RAPBN-P yang dibicarakan oleh DPR-RI dan Pemerintah. Penggeseran atau re-focussing mata anggaran yang tidak memerlukan pembahasan dan persetujuan DPR-RI pernah terjadi untuk satuan tiga pada APBN Tahun 2018 dan 2019.
Dalam pembicaraan partai-partai koalisi pemerintahan ada keinginan agar ketentuan dalam Perppu yang dianggap mengurangi fungsi anggaran DPR-RI tersebut direvisi. Keinginan ini terefleksikan dalam pembahasan maupun catatan akhir delapan fraksi yang menyetujui penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang.
Pejabat fiskal dan moneter kebal hukum?
Hal kedua yang membuat persetujuan DPR-RI terhadap Perppu 1/ 2020 dikritisi ialah keberadaan pasal "kebal hukum" dalam Perppu tersebut. Mereka yang mengkritisi beranggapan dengan Pasal 27 Perppu 1/2020, maka para pejabat otoritas fiskal dan moneter kita menjadi "kebal hukum" atau paling tidak menjadi sangat sulit diproses hukum ketika ada dugaan melakukan tindak pidana korupsi atau lainnya terkait dengan keputusan atau kebijakan yang mereka ambil.
Namun tampaknya ada beberapa hal yang dilupakan oleh para pengkritik tersebut. Pertama, isi Pasal 27 Perppu 1/2020 bukan hal baru dalam khasanah undang-undang di negara kita. Jika kita baca Pasal 45 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) maka juga ada ketentuan yang sama dengan Pasal 27 ayat 1 Perppu 1/2020. Ketentuan imunitas hukum juga ada dalam Pasal 10 UU UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Kedua, kekebalan atau imunitas hukum yang diberikan kepada para pejabat otoritas fiskal dan moneter tersebut bukannya tanpa syarat. Pasal 27 ayat 1 Perppu 1/2020 secara jelas meletakkan dua syarat yang harus dipenuhi agar kekebalan hukum bisa dilekatkan pada keputusan, kebijakan atau tindakan para pejabat ini. Keduanya adalah terpenuhinya syarat diterapkannya prinsip iktikad baik dan syarat tidak melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Ketiga, catatan penegakan hukum kita menunjukkan ketika kedua syarat diatas tidak dipenuhi, maka proses hukum tetap dijalankan. Contoh nyata-nya bisa dilihat pada kasus dana talangan (bail out) Bank Century. Meski ada ketentuan Pasal 45 UU BI diatas, KPK melakukan proses hukum terhadap Dewan Gubernur BI pada saat itu. Hanya saja setelah salah satu Deputi Gubernur BI dihukum (Sdr. Budi Mulia), belum ada proses lebih lanjut terhadap anggota Dewan Gubernur BI yang lain, meski nama-nama mereka telah disebut dalam surat dakwaan, tuntutan maupun vonis pengadilan terhadap Budi Mulia.
Jadi Pasal 27 ayat 1 Perppu 1/2020 bukanlah "cek kosong" bagi para pejabat otoritas fiskal dan moneter untuk mendapatkan kekebalan hukum. Mereka akan berhadapan dengan proses hukum jika mengabaikan prinsip iktikad baik dan menabrak peraturan perundangan dalam menjalankan otoritasnya.
Dari apa yang dikemukakan diatas, maka para anggota DPR-RI yang menyetujui Perppu 1/2020 tidak sedang "bunuh diri". Begitu pula yang "memalukan" justru mereka yang mengkritisi tanpa melihat detil faktual yang menyertai persetujuan terhadap Perppu 1/2020 maupun konteks peraturan perundangan kita yang sudah ada sebelumnya.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #dpr #arsul-sani