JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Komisi III DPR akan mengkaji draf peraturan presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Perpres yang diajukan oleh Kementerian Hukum dan HAM kepada DPR ini sebelumnya mendapat kritikan dari masyarakat sipil dan Komnas HAM karena dinilai berpotensi mengencangkan kewenangan militer dalam ranah penindakan terorisme.
"Semenjak Perpres ini disampaikan oleh Menkumham ke DPR untuk proses konsultasi sesuai dengan amanat UU No 5 Tahun 2018, maka sejumlah elemen masyarakat sipil memang mengkritisinya," kata Arsul saat dikonfirmasi TeropongSenayan, Jumat, 29 Mei 2020.
Namun, ia mengatakan, pihaknya belum membahas lebih lanjut draf yang dilayangkan Yasonna Laoly tersebut dikarenakan DPR masih dalam masa reses.
Menurut Arsul, kritikan masyarakat dan Komnas HAM terhadap sejumlah pasal dalam rancangan Perpres tersebut perlu diperhatikan. Apalagi, kritikan ini berkaitan dengan HAM dan adanya dugaan pelanggaran sistem peradilan pidana.
"Apa yang menjadi concern elemen masyarakat sipil maupun Komnas HAM tersebut memang perlu dicermati dan dikaji baik oleh DPR maupun Presiden. Pada saatnya nanti Komisi 3 akan menyampaikan pendapatnya kepada pimpinan DPR," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.
TEROPONG JUGA:
> TNI Dilibatkan Berantas Terorisme, PDIP Sebut Khianati Reformasi
Wacana penerbitan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini pertama kali muncul pada Mei 2018 lalu. Tapi rencana ini urung diwujudkan setelah masyarakat mengkritiknya. Wacana ini kembali mengemuka setelah pemerintah membuat draf perpres, lalu meminta pandangan DPR terhadap rancangan itu.
Arsul mengungkapkan pihaknya akan mengkaji terlebih dahulu isi Perpres tersebut, terutama untuk mendalami apakah materi muatan dalam draf Perpres pelibatan TNI ini melebihi atau keluar dari kerangka hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Terorisme.
"Tidak tertutup kemungkinan nantinya DPR akan meminta kepasa Presiden agar beberapa bagian dari draf Perpres tersebut dirubah agar kerangka hukum pelibatan TNI-nya tidak keluar dari prinsip dan kerangka hukum UU No 5 Tahun 2018 (tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, red)," pungkas legislator dari dapil Jawa Tengah X ini.
Sebelumnya, Komnas HAM pernah meminta pemerintah membatalkan rancangan peraturan yang hendak melibatkan TNI dalam urusan penanganan terorisme itu. Lembaga ini bahkan meminta Presiden Joko Widodo tidak menandatangani draf tersebut Sebab, rancangan pelibatan TNI ini dianggap menyimpang dari undang-undang dan berpotensi mengembalikan wajah TNI ke masa Orde Baru.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan draf perpres tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Perpres itu akan membuat karakter TNI seperti TNI di zaman Orde Baru yang ke luar dari koridor negara hukum,” kata Choirul kepada wartawan, Kamis 28 Mei 2020.
Menurut Choirul, semestinya TNI hanya dibutuhkan dalam menangani terorisme ketika Kepolisian Republik Indonesia dianggap tidak mampu menanggulanginya. Lalu TNI diperbantukan dengan melakukan penindakan dalam level terbatas. “Hal itu diamanatkan dalam UU TNI dan UU Pemberantasan Terorisme,” kata dia.