JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Politisi PAN Guspardi Gaus mengkritisi draft atau konsep RUU Pemilu 2020 bahwa syarat pengajuan Cakada (Calon Kepala Daerah) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai paling sedikit 20% dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25% dari suara sah dalam Pemilu anggota DPR sesuai hasil Pemilu Nasional sebelumnya.
Dalam wawancara dengan awak media, Guspardi menjelaskan pada Pasal 741 ayat (3) dalam draft RUU tersebut menyatakan bahwa UU mulai berlaku setelah lima tahun sejak tanggal diundangkan.
Dikecualikan untuk Pilkada 2020, 2022, dan 2023 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Namun, Guspardi mengatakan jika belum memungkinkan untuk disahkan dan diundangkan, maka secara otomatis pada pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 ini, pencalonan kepala daerah masih mengacu pada UU no 6 tahun 2016.
"Dengan menggunakan ketentuan calon dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan" kata Legislator asal Sumatera Barat ini, Minggu (31/05/2020).
"Dalam draft RUU yang kita terima pada pasal 192 untuk pemilihan Gubernur dan pasal 197 untuk pemilihan Bupati dan Walikota dimasukkan usulan syarat boleh mengajukan calon kepala daerah baik itu tingkat Gubernur, Bupati dan Walikota harus mengacu kepada perolehan suara partai politik di tingkat pusat (DPR RI)," sambungnya.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah dalam Pemilu anggota DPR sesuai hasil Pemilu Nasional sebelumnya.
Ketentuan baru tersebut, menurut Guspardi dinilai tidak adil. Coba bayangkan bagaimana jika partai politik yang berhasil lolos parliamentary threshold di tingkat pusat.
Namun, tidak mengakar kebawah alias tidak mendapatkan suara / kursi di tingkat DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota atau sebaliknya ada partai ditingkat pusat atau DPR RI tidak punya wakil diparlemen tetapi didaerah memperoleh kursi mayoritas atau lebih 20%.
Tentunya semua ini bertentangan dengan cita-cita dan semangat reformasi yang menginginkan adanya alam demokrasi yang sehat, yang mampu memunculkan semua potensi pemimpin dari daerah.
Hal ini juga bertentangan dengan semangat otonomi daerah, mengkerdilkan hak politik rakyat di daerah dan juga tidak mempertimbangkan kearifan lokal.
Guspardi menegaskan persyaratan calon yang mengacu kepada perolehan kursi DPR RI bertentangan dengan tujuan reformasi karena ketentuan persyaratan ini merupakan upaya untuk mengembalikan kekuasaan yang bersifat sentralistik.
Beberapa partai politik yang berhasil mengirimkan wakilnya di tingkat DPRD Provinsi, Kabupaten dan kota tetapi belum berhasil di tingkat nasional tentu akan gigit jari karena tidak bisa mengusung calon kepala daerah.
Ini bisa diartikan mengarah kepada otoritarianisme baru dengan berselimutkan demokrasi. Disamping itu dengan acuan suara pusat ini dikhawatirkan akan mengganggu jalannya roda pemerintahan didaerah dan berdampak kepada stabilitas jalannya roda pemerintahan didaerah tersebut.
"Apakah setiap kebijakan yang akan dibuat oleh Walikota, Bupati dan Gubernur dapat berjalan dengan efektif. Apalagi jika partai yang mengusung Kepala Daerah hanya mempunyai wakilnya tidak sampai 10% bahkan cuma 5% di DPRD Kabupaten, DPRD Kota dan DPRD Provinsi," pungkas anggota Baleg DPR RI ini.