JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Perseteruan antara hukum transnasional olahraga (lex sportiva) dengan hukum positif Indonesia agaknya belum menemui titik harmonisasi untuk mengakui kedua aspek hukum tersebut dalam kompetisi cabang olahraga. Di tiap negara, termasuk Indonesia, memiliki hukumnya sendiri untuk mengelola cabang olahraga sebagai bentuk kedaulatan negara untuk mewujudkan cita-cita persatuan dalam bingkai olahraga.
Indonesia menegaskan bahwa olahraga miliknya sendiri diatur dalam UU No 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN).
Namun, di sisi lain terdapat hukum lain yang kemudian disebut "Lex Sportiva" sebagai asas hukum transnasional (di luar hukum Nasional dan Internasional) yang harus dipatuhi oleh semua negara di dunia. Lex sportiva dikendalikan oleh federasi Internasional cabang olahraga yang tidak boleh diintervensi oleh negara manapun kendati suatu negara memiliki cabang olahraga yang tergabung dalam federasi tersebut.
Dengan adanya UU SKN, Federasi olahraga internasional menilai Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi. Campur tangan ini dinilai tidak hanya dilakukan secara strategis, terbatas dan fokus pada jaminan ketersediaan infrastruktur olahraga dan politik keolahargaan, melainkan sudah merupakan intervensi dalam arti campur tangan yang melampaui kompetensi dan kapasitasnya.
Sementara itu, pemerintah Indonesia berpandangan bahwa olahraga yang ada di lingkup negaranya adalah aspek yang meniscayakan adanya regulasi. Artinya, cabang olahraga Indonesia adalah bagian dari negara Indonesia dan membutuhkan aturan. Argumentasi ini menandakan bahwa Indonesia berdaulat atas olahraga Nasional, yang tentu juga tak boleh diintervensi oleh kehendak asing.
Tarik menarik norma hukum antara Lex Sportiva dengan hukum positif Indonesia (UU SKN) menimbulkan dilema. Pasalnya, pemegang otoritas lex sportiva, sebut saja: FIFA, FIBA, FINA, dan lain-lain mewajibkan anggotanya untuk tunduk terhadap AD/ART atau statutanya. Asas otonomi dalam olahraga ini misalnya dapat dilihat dalam Pasal 13 Statuta FIFA, yang menyatakan bahwa jika ada intervensi dari pihak ketiga, maka otomatis negara anggota akan di beri sanksi tegas oleh FIFA, seperti tak lagi diperbolehkan mengikuti even olahraga Internasional.
Pemain Timnas Indonesia U-23 melambaikan tangan usai mengalahkan Timnas Brunei Darussalam pada pertandingan kualifikasi Grup H Kejuaraan Piala Asia (AFC) U-23 Tahun 2016 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (29/3).
Menanggapi polemik lex Sportiva versus lex posita tersebut, Wakil Ketua Komisi Olahraga (Komisi X) DPR, Abdul Fikri Faqih mengatakan pentingnya harmonisasi kedua peraturan ini. Harmonisasi dilakukan, semisal dengan mencantumkan Lex Sportiva ke dalam konsiderans UU SKN.
Fikri mengatakan, DPR menginginkan pemerintah menegaskan posisi Indonesia terhadap dua beleid yang berbenturan ini. Tujuannya, meski federasi Internasional olahraga mendaku sebagai pemegang kendali peraturan cabang olahraga, Indonesia tetap memiliki kedaulatan yang tak bisa disetir oleh komunitas lain di luar otoritasnya.
“Komisi X ingin memperjelas posisi negara atau pemerintah dengan lembaga lex sportiva Instituta yang mengatur dunia olahraga internasional,” kata Fikri saat memimpin rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional (Panja RUU SKN) di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (8/7).
Teropong Juga:
> Fikri: Penetapan dan Panduan Masuk Sekolah Berdasarkan Kategori Kawasan Bisa Dipersoalkan
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menerangkan, jika tak ada harmonisasi antara dua norma hukum tersebut, ke depan cabang olahraga Indonesia berpotensi menemui masalah.
Hal ini berkaca pada kasus mundurnya jadwal pelaksanaan Kompetisi Sepakbola Liga Super Indonesia Tahun 2015 sebagai akibat belum adanya rekomendasi izin dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI).
BOPI sebagai lembaga yang mengusung hukum positif Indonesia saat itu berpendapat, lembaganya mempunyai wewenang untuk menahan rekomendasi dengan alasan agar klub-klub yang mempunyai masalah hukum (transfer pemain, izin pemain, menunggak gaji pemain, dan lain-lain) menyelesaikan dulu permasalahannya.
Sementara PSSI sebagai representasi FIFA yang memegang Lex Sportiva berpendapat bahwa pelaksanaan kompetisi bukan kewenangan BOPI, tetapi merupakan kewenangan PSSI berdasarkan ketentuan Statuta FIFA.
Untuk itu, Fikri mengatakan perlunya revisi terhadap UU SKN agar mengadopsi norma-norma lex sportiva sebagai hukum yang dipertimbangkan di Indonesia.
“Inti diskusi pada rapat dengar pendapat umum ini adalah tentang urgensi perubahan UU nomor 3 tahun 2005, dan bagaimana terkait doktrin lex sportivadapat diterapkan dalam sistem keolahragaan nasional yang akan kita revisi ke depan. Bagaimana pula kedudukan negara dengan statuta federasi olahraga internasional,” jelasnya.
Ilustrasi BOPI vs Liga Indonesia
Panja RUU SKN menghadirÄ·an pakar hukum keolahragaan untuk memperkaya perspektif hukum di bidang olahraga. Fikri berujar, pemerintah sebagai representasi negara berkepentingan untuk menegakkan hukum atau regulasi di wilayahnya termasuk regulasi sektor olahraga. Namun, ada benturan kepentingan dengan regulasi olahraga internasional.
“Dalam rapat ini perlu penjelasan soal kedudukan negara termasuk kedudukan regulasi negara terhadap regulasi dunia olahraga yang mengacu pada statuta federasi masing-masing cabang olahraga. Bagaimana organisasi cabang olahraga sebagai organisasi non-pemerintahan harus patuh pada statuta federasi di satu sisi, namun harus tunduk pula pada hukum positif negara," papar legislator dapil Jawa Tengah IX ini.
Jika doktrin lex sportiva ini masuk dalam konsiderans menimbang RUU SKN, kata Fikri, maka sangat mungkin UU SKN lebih sederhana daripada UU yang berlaku sekarang. RUU ini terdiri dari 20 bab dan 92 pasal. Bisa jadi pasal-pasal tentang kewenangan dan kewajiban pemerintah terhadap olahraga khususnya olahraga prestasi akan berkurang.
Ia mengimbuhkan, negara hanya memberi dukungan sarana, prasarana, dan infrastruktur olahraga, serta bantuan pendanaan. Sementara pasal-pasal tentang akreditasi, standardisasi, sertifikasi, arbitrase, doping, dan penyelesaian sengketa olahraga, sudah pula diatur dalam regulasi olahraga transnasional.