JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Hari Santri yang diperingati pada 22 Oktober menjadi momen untuk merefleksikan kembali resolusi jihad yang dicetuskan Pahlawan Nasional KH Hasyim Asy"ari dan sejumlah ulama lainnya pada 22 Oktober 1945. Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama itu mengeluarkan fatwa jihad menyusul kedatangan Belanda yang mencoba kembali menjajah Indonesia.
Melalui fatwa resolusi jihad, KH Hasyim Asy"ari mendorong semua santri di Jawa untuk untuk turun berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal ini mempertegas bahwa cinta terhadap tanah air adalah sebuah kewajiban dalam ajaran agama kaum santri.
Dalam peringatan Hari Santri Nasional ke-5 yang jatuh pada hari ini, Kamis, 22 Oktober 2020, nafas perjuangan kaum santri dulu berhembus dalam Seminar Hari Santri Nasional yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Acara yang dilakukan virtual ini bertemakan "Nasionalisme Santri, Ketahanan Pancasila dan Indonesia yang Kuat".
Adapun deretan tokoh yang mengisi acara ini antara lain: Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi; Anggota Dewan Pengarah BPIP yang juga Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj; Wakil Kepala BPIP Prof. Hariyono; Guru Besar Universitas Airlangga, Prof. Musta"in; dan Kasubdit Pendidikan Diniyah Ma’had Aly Kementerian Agama, Aceng Abdul Aziz.
Yudian Wahyudi dalam sambutannya mengatakan, kaum santri merupakan kalangan yang punya kesetiaan pada dua aspek, yakni keagamaan dan kenegaraan. Sejak penjajah merongrong kedaulatan negeri, mereka menjadi pendukung pemerintah yang setia membantu proses kemerdekaan bangsa Indonesia.
Jika pada zaman penjajahan para santri melahirkan fatwa jihad melawan penjajah, kini, tutur Yudian, santri berperan penting dalam mengawal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengorbanan santri terhadap negeri yang tercatat dalam sejarah menjadikan komunitas ini patut dihargai, sehingga pemerintah pun mengenangnya setiap tanggal 22 Oktober.
"Jadi dulu dari santri untuk NKRI, sekarang dari NKRI untuk santri,” kata Yudian.
Namun demikian, kata Yudian, perjuangan kaum santri masih akan terus berlanjut ke depan. Sehingga, antara santri dan negeri memiliki hubungan mutual yang berguna untuk menjaga keseimbangan.
Menurut Yudian, santri berperan penting dalam menghadapi paham-paham yang mengganggu eksistensi dan ideologi negara. Pemerintah dan santri seyogyanya bergotong royong menjaga dan mengawal keutuhan bangsa. "Jasa kaum santri sudah diakui secara nasional," tuturnya.
Selain harus menguasai agama, santri juga diharapkan tampil memajukan Indonesia dengan meningkatkan perannya di berbagai sektor, termasuk pemerintahan. Hal ini sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh Presiden ke-4 Indonesia, KH Abdurrahman Wahid yang pernah menjadi santri di beberapa pondok pesantren.
"Kita sebagai kaum santri harus memaknai kembali perjuangan santri, agar ke depan bisa melanjutkan perjuangannya untuk memajukan bangsa dan negara ini," tegas Yudian.
Sementara itu, KH Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa santri adalah cikal bakal nilai-nilai kebangsaan. Predikasi santri tak selalu tersemat untuk orang-orang yang bersarung yang umumnya mondok di Pesantren. Namun, kata Said, santri adalah sebutan bagi siapapun yang selalu ingin belajar karena ciri santri sangat erat dengan pelajar.
"Santri itu sebenarnya cikal nilai-nilai kebangsaan, baik itu lintas agama, lintas budaya, dan lintas suku,” tuturnya.
Terdapat empat prinsip yang menurut Said menjadi basis moral kaum santri, yakni beramal sesuai tuntunan ayat suci Alquran, membangun karakter, membangun skil dengan ilmu pengetahuan, dan kearifan atau kebijaksanaan. "Ini prinsip pendidikan yang sangat ideal sebenarnya," ujar Said.
Said menegaskan santri bukanlah kalangan yang tertutup dan jumud. Tak sedikit orang memandang kaum santri kolot karena umumnya tinggal di pesantren dan hanya bergelut dengan kitab-kitab.
Justru, kata Said, dari prinsip pendidikan yang mengajarkan santri berkarakter baik mengindikasikan santri adalah orang-orang yang terpelajar dan luas pergaulannya. Sebab, santri selalu didorong untuk belajar di manapun dan oleh siapapun.
"Karakter yang dibangun adalah muamalah bil maruf, santri mendapatkan doktrin dari ulama agar jadi orang yang pandai bergaul,” jelas Said.
Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono menambahkan, dalam beberapa literatur, umumnya santri dikenal sebagai pembelajar. Ia menjelaskan karakter pembelajar relatif akan bersikap inklusif. Sehingga, umumnya santri akan menyerap ilmu apapun untuk memetik hikmah yang bisa diamalkan.
"Ketika ia belajar relatif inklusif, relatif bisa menerima informasi yang baru, baik sifatnya rasional, sekuler sampai yang sifatnya mistik. Mayoritas santri itu belajarnya pada banyak guru," terang Hariyono.
Oleh sebab itu, lanjut Hariyono, jika dalam dunia pendidikan saat ini dekenal istilah pendekatan interdisipliner atau transdisipliner, sejatinya santri sejak dulu sudah melakukan hal itu.
"Hal yang lebih menarik lagi, ketika kita ingin mengambil nilai-nilai kesantrian itu, yang dikembangkan terlebih dulu adalah aspek karakter dan integritas. Sehingga orang kalau membayangkan santri adalah orang pelajar yang hidupnya sederhana," kata Hariyono.