Opini
Oleh Natalius Pigai pada hari Minggu, 08 Nov 2020 - 09:52:25 WIB
Bagikan Berita ini :

Perancis yang Liberal: Islamophobia vs Islam yang Eksklusif

tscom_news_photo_1604803945.jpg
Natalius Pigai (Sumber foto : Istimewa)

Sehari sebelum persidangan untuk mengadili tersangka pelaku terorisme yang menyerang kantor Charlie Hebdo pada 2015 digelar. September 2020 Koran Satir Perancis Charlie Hebdo mencetak ulang Karikatur Nabi Muhammad. "Gambar-gambar itu milik sejarah, dan sejarah tidak dapat ditulis ulang atau dihapus," tulis surat kabar tersebut dalam sebuah editorial, mengutip CNN International.

Gambar sampul Charlie Hebdo yang terbit bulan September 2020 merupakan karikatur yang pertama kali diterbitkan harian Denmark Jyllands-Posten pada 2005. Charlie Hebdo kemudian mencetak ulang gambar itu pada 2006. Ketika itu menimbulkan kemarahan umat Muslim. Aksi media itu juga dilakukan setelah sebelumnya muncul demo dan kerusuhan kelompok anti imigran di Swedia dan Norwegia yang melecehkan kitab suci Alquran.

Akibatnya pada Januari 2015 kantor Charlie Hebdo menjadi target serangan teroris yang mengklaim diri mereka sebagai Kelompok bersenjata ISIS. Tujuh belas orang tewas dalam serangan itu, di mana 12 korban di antaranya merupakan orang kantor editorial.

Sementara itu, Presiden Prancis mengaku tak bisa mengekang karena kebebasan berekspresi. "Tidak pernah ada kewenangan presiden memberikan penilaian pada pilihan editorial jurnalis atau berita," katanya.

Pemberitaan Karikatur tersebut tidak terlepas dari kerusuhan anti muslim dan pembakaran kitab suci Alquran di Swedia yang terjadi akhir Agustus 2020. Demonstrasi berujung kerusuhan terjadi di Swedia Selatan.

Demo itu terkait protes anti-muslim yang berujung pembakaran kitab suci Alquran Jumat (28/8/2020) ketegangan terjadi saat seorang politisi Denmark yang anti-muslim dilarang menghadiri demo. Membakar Alquran dengan dibungkus daging Babi. Dalam Islam, daging ini adalah hal yang haram, sesuatu yang dilarang.

Pada pada 16 Oktober 2020, Samuel Paty, seorang guru sejarah ditemukan tewas terbunuh oleh remaja imigran, mungkin seorang remaja Islam tersebut keberatan ketika Samuel Paty sendiri yang mengajar di kelas soal kebebasan berpendapat dengan menunjukkan Kartun Nabi Muhammad sebagai contohnya. Setelah Samuel Paty meninggal, penghormatan untuk Paty digelar dan dihadiri oleh Macron dan di hadapan sekitar 400 tamu di Universitas Sorbonne.

“Kami akan melanjutkan perjuangan untuk kebebasan," kata Macron. Dukungannya untuk kebebasan berpendapat dan dukungan atas aksi Paty ditunjukannya lewat cuitan pribadi Macron di Twitter pada 22 Oktober 2020. “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis saat ini di seluruh dunia, kita tak hanya melihat hal ini di negara kita saja" ungkap Macron. Lanjut Macron “Kami akan terus bertahan, profesor. Kami akan terus berjuang untuk kebebasan, kamu telah jadi wajah perjuangan mempertahankan republik.

Dalam pandangan saya, jika dilihat dari soal kesalahan tentu saja yang pertama dan terutama adalah pembuatan dan pemuatan karikatur Nabi Muhammad karena menyayat perasaan umat Islam, adanya serangan terorisme terhadap kantor Charlie Hebdo 2015, tindakan yang ditunjukkan Paty dan Pelaku pembunuhan Samuel Paty dan yang terakhir adalah Macron.

Saya tidak ingin mengulas lebih dalam tentang kasus yang lain, lebih fokuskan pada pernyataan Presiden Perancis yang menyinggung perasaan umat Islam. Macron sudah pasti berada dalam dilemah karena Eropa termasuk Perancis sebenarnya tersandera dengan perasaan Islamophobia.

Macron berada dalam tekanan sayap kanan Kristen yang meminta adanya perlindungan terhadap warga negara Perancis dari serangan Islam militant dan terorisme yang seringkali mengatasnamakan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh ISIS.

Lebih dari ratusan tahun Eropah dininabobohkan dalam atmospir demokrasi, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan dalam mainsteam liberalisme. Apalagi perancis adalah negara yang pertama kali mendeklarasikan semboyan fraternite, egalite dan liberte dalam revolusi Perancis pada tahun 1793.

Egalite, Liberte dan Fraternite merupakan cikal bakal dari demokrasi, hak asasi manusia, persamaan dan kebebasan. Dalam hal ini Perancis tentu saja patut dicatat dalam sejarah sebagai biang liberalisme dan kebebasan. Pada tahun yang sama kebebasan atau kemerdekaan Amerika Serikat juga diraih atas jasa Perancis yang bersama bangsa Amerika menyerang Inggris dalam revolusi kemerdekaan Amerika yang dikenal dengan nama Deklarasi Philadelpia oleh George Washington.

Bagi Bangsa Perancis Kemerdekaan, Kebebasan dan Persamaan Hak adalah titah yang patut dijalankan. Jangankan Islam, Gereja Katolik Roma atau yang disebut Imperium Roman Chatolic saja pernah dihancurkan oleh Perancis.

Serangan Perancis waktu itu karerena Imperium Katolik bertahta dan kuasa atas seluruh sendi kehidupan bangsa Perancis. Karena itu tidak hanya agama Islam saja yang diserang Perancis tetapi Agama Katolik juga pernah alami penindasan.

Pada masa revolusi Perancis lebih dari 40.000 orang Perancis dieksekusi hanya karena berpegang teguh pada Iman Katolik dan menolak ekses terburuk dari Komite Keamanan Publik.

Komunitas-komunitas relijius kontemplatif menjadi sasaran pertama dari kemarahan Revolusi Perancis terhadap Gereja Katolik. Kurang dari setahun, sejak Mei 1789 ketika Revolusi dimulai dengan pertemuan Etats-Generaux, komunitas-komunitas ini diharuskan oleh hukum untuk dibubarkan.

Tetapi banyak dari mereka yang terus bersembunyi. Biara mereka diserbu pada bulan Agustus 1790, semua properti para suster direbut oleh pemerintah, dan mereka dipaksa untuk melepaskan jubah dan meninggalkan biara mereka.

Dalam konteks tersebut di atas maka pernyataan Macron tentu tidak dapat dibenarkan, namun demikian apalagi pernyataan tersebut berpijak pada sejarah maka tentu saja harus melihat dari sudut pandang Perancis dalam konteks liberalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia dalam sudut pandang mereka.

Pembantaian Umat dan Gereja Katolik pada masa revolusi Perancis dan juga kekerasan verbal kepada umat Islam hari ini mesti dilihat secara linier dengan sudut pandang yang sama.

Perancis memiliki beban untuk mempertahankan liberalisme, kebebasan, demokrasi dan persamaan kedudukan yang mereka rintis melalui peristiwa berdarah yakni revolusi Perancis. Memang umat Islam dan kaum imigran sering menghadapi tekanan, teror dan ketidakadilan di Perancis.

Namun kita tidak pernah mengungkapkan seberapa jauh kontribusi kekerasan, kejahatan dan kasus-kasus criminal yang dilakukan oleh kaum imigran di negara Eropa khususnya Perancis. Prancis memang membuka pintu luas bagi kaum imigran tanpa mempertimbangkan bias (migran bias) maka negara-negara Eropa mulai menerapkan migran bias policy.

Saya tidak pada menyetujui tindakan Macron karena konotasi negatif pada agama Islam, namun juga Perancis adalah negara yang sangat welcome terhadap imigran.

Negara-negara jajahan Perancis kecuali di Karibia dan Pacifik seperti France polinesian dan New Caledonia, di luar itu negara-negara jajahan (France overseas teritories) dan berbahasa Perancis (le franscophone) di Afrika seperti Kamerun, Pantai Gading, Zenegal adalah negara-negara yang mayoritas beragama Islam.

Dan banyak imigran yang hidup di Perancis, menjadi pejabat, Menteri juga pemain sepak bola terkenal. Dalam konteks ini Islamophobia belum tentu didorong oleh negaranya tetapi lebih kepada tindakan atau perbuatan individual. Dan dalam konteks ini saya tidak yakin Presiden Macron benci Islam.

Berbagai tekanan yang diberikan umat islam atas nama ukuwah Islamiyah bisa dimaklumi, meskipun tidak didukung penuh oleh para pemimpin negara Islam. Kelemahannya adalah Umat Islam terlalu ekskusif memandang dalam konteks Islam, seharusnya umat islam melakukan transformasi cara pandang agar berjuang dalam koridor demokrasi, keadilan, hak asasi manusia dan perdamaian.

Inilah titik lemahnya. Ketika Islam secara eksklusif menyerang Presiden Perancis dari sudut pandang agama Islam maka tidak akan banyak berpengaruh karena bagi Perancis merasa menjadi pahlawan dan berada di front liner bagi Eropa dalam konteks polarisasi ideologi agama yaitu kubu barat Kristianitas dan Timur Tengah Islamisme.

Bangsa Perancis itu dikenal sebagai bangsa petarung, pernah melawan Spanyol, pernah jajah Inggris, pernah memerdekakan Amerika Serikat. Bahkan orang Perancis merasa bahasa Perancis sebagai bahasa terbaik di dunia dan bahasa Perancis memberi kontibusi 29% konten atau kosa kata Inggris ketika Bahasa Inggris hanya digunakan oleh sebuah suku kecil di Inggris tahun 50 sebelum Yesus lahir.

Oleh karena itu memperbaiki cara pandang phobia Eropah terhadap Islam, umat Islam meski masuk dalam konteks demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan. Umat Islam selama ini cenderung bermain dalam skenario barat sehingga lebih cenderung defensif dan eksklusif.

Sesungguhnya apa yang menjadi perhatian umat Islam tentu terkait (inline) dengan demokrasi, hak asasi manusia, persamaan kedudukan serta keadilan yang juga justru menjadi perhatian bersama di seluruh dunia.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #natalius-pigai  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Analisis Mendalam Berdasarkan Data BRIEF UPDATE BDS Alliance

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Minggu, 22 Des 2024
EKONOMI 1. Pelemahan Rupiah dan IHSG Pelemahan Rupiah dan Arus Modal Keluar: Meskipun rupiah sempat menguat tipis pada Jumat lalu, secara mingguan mata uang ini mencatat pelemahan yang ...
Opini

Lukisan yang Jokowi Banget

Catatan Cak AT Ironi tragis kembali hadir di panggung seni Indonesia yang tak pernah absen dari sandiwara. Kali ini, kisahnya milik Yos Suprapto, seniman kawakan asal Surabaya, yang karyanya ...