JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Benny Wenda di akun Twitternya, Selasa (1/12), mengumumkan pembentukan Pemerintahan Sementara Papua Barat dan mengklaim dirinya sebagai presiden sementara Negara Republik Papua Barat (NRPB).
Kabar ini ditanggapi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dengan mengatakan Wenda memimpin negara ilusi. "Menurut kami, Benny Wenda ini membuat negara ilusi, negara yang tidak ada dalam faktanya. Negara Papua Barat itu apa?" kata Mahfud, di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (3/12).
Lebih dari itu, kata dia, Benny Wenda adalah seorang narapidana atau seorang yang sudah dijatuhi hukuman pidana di Indonesia 15 tahun karena tindakan kriminal, tetapi kabur.
"Sehingga dia sekarang tidak punya kewarganegaraan, di Inggris dia tamu, di Indonesia dia sudah dicabut kewarganegaraan. Lalu bagaimana dia memimpin negaranya? Itu yang saya katakan negara ilusi yang dia bangun," tutur Mahfud MD.
Oleh sebab itu, Mahfud meminta masyarakat tidak perlu takut dengan deklarasi negara ilusi yang dilakukan oleh Benny Wenda melalui media sosial Twitter.
"Itu kan ilusi saja. Apalagi, deklarasi kemerdekaan melalui Twitter. Kenapa kita harus ribut, orang saya tiap hari Twitter-an juga. Tidak perlu panik, tapi tetap saja karena pengaruhnya terhadap orang di situ, merasa terpengaruh, ada pengikutnya, ini ada gakkum (penegakan hukum) nanti," kata Mahfud
Mahfud mengatakan ada beberapa syarat agar disebut negara. "Negara itu syaratnya ada tiga. Syarat itu ada rakyat yang dia kuasai, ada wilayah dia kuasai, kemudian ada pemerintah. Dia tidak ada. Rakyatnya siapa? Dia memberontak. Wilayahnya kita menguasai. Pemerintah, siapa yang mengakui dia pemerintah? Orang Papua sendiri tidak mengakui," kata Mahfudz.
Kemudian, syarat lain adanya pengakuan dari negara lain dan masuk dalam organisasi internasional. "Dia tidak ada yang mengakui. Memang didukung satu negara kecil di Pasifik, namanya Vanuatu. Tapi kecil itu daripada ratusan negara besar, Vanuatu kan kecil dan tidak masuk juga ke organisasi internasional, hanya disuarakan secara politik," tutur Mahfud.
Selain itu, Mahfud mengingatkan bahwa Papua melalui referendum pada 1969 sudah final dan sah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia menjelaskan referendum yang berlangsung pada November 1969 tersebut disahkan Majelis Umum PBB bahwa Papua itu adalah sah bagian dari kedaulatan Indonesia. "Karena itu tidak akan ada (referendum) lagi, PBB tidak mungkin membuat keputusan dua kali dari hal yang sama atau terhadap hal yang sama," ujarnya.
Selain itu, kata dia, Papua sejak 1969 tidak masuk dalam daftar Komite 24 PBB, yakni daftar negara-negara yang dianggap memiliki peluang dan mandiri untuk merdeka, berbeda dengan Timor Timur. "Kalau Timor-Timur memang ada, tetapi Papua tidak ada. Sejak 1969 tidak masuk di komite 24 itu," kata Mahfud menegaskan.
Pernyataan MPR
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah untuk bertindak tegas atas deklarasi pemerintahan sementara di Papua Barat yang dilakukan pimpinan separatis Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda.
"Saya bicara di sini atas nama pimpinan MPR RI yang ingin mengingatkan kita semua termasuk pemerintah tentang konstitusi kita. Saya ingin menyampaikan pesan bahwa negara harus bertindak tegas," kata Bamsoet sapaan akrabnya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis.
Bamsoet menilai pernyataan yang disampaikan Benny Wenda yang notabene warga negara asing yang mengklaim dan mengangkat dirinya sebagai presiden sementara di Papua Barat sangat mengganggu konstitusi.
"Dari sudut pandang kami sebagai penjaga konstitusi sangat mengganggu. Bukan soal Benny Wendanya, tapi orang-orang atau suasana, situasi politik yang ada di Papua maupun di seluruh Tanah Air juga," ujarnya menegaskan.
Menurut Bamsoet, pernyataan pimpinan kelompok separatis Papua Benny Wenda tentang deklarasi pembentukan pemerintah negara Papua bersifat sepihak dan tidak sesuai dengan hukum internasional, termasuk juga peraturan konstitusi dan UU Indonesia sebagai kedaulatan yang sah atas Papua.
Dengan demikian, kata dia, segala bentuk pernyataan yang merongrong dan menegasikan kedaulatan wilayah negara kesatuan republik indonesia adalah pengingkaran terhadap amanat konstitusi.
"Bahwa menurut Pasal 106 KUHP makar dengan masuk sebagian wilayah negara jatuh ke tanah musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya 20 tahun," tutur-nya.
Lebih lanjut, kata dia, Pasal 38 KUHP menegaskan bahwa dikatakan makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu telah nyata dari adanya pelaksanaan seperti yang dimaksud pasal 53.
"Maka sesungguhnya apa yang dilakukan UMLWP dengan mendeklarasikan negara dan menjadikan Benny Wenda sebagai presiden Papua Barat sudah sangat jelas merupakan perbuatan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia," ucap Bamsoet menegaskan.
Abaikan Saja
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintahan sementara yang dibentuk oleh tokoh separatis Papua Benny Wenda tidak ada dasarnya di dalam hukum internasional.
Hikmahanto menilai kelompok separatis pro-Organisasi Papua Merdeka (OPM) mendirikan pemerintahan tanpa kejelasan negara mana yang telah berdiri dan dimana lokasi dan kapan waktu deklarasi berdirinya negara tersebut.
"Dalam hukum internasional yang dikenal adalah pendirian sebuah negara, harus ada negara dahulu baru ada pemerintahan. Aneh bila yang dideklarasikan adalah pemerintahan sementara tanpa jelas negara mana yang diakui oleh masyarakat internasional," kata Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia itu melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Rabu.
Sedangkan negara-negara Pasifik yang selama ini menunjukkan dukungannya, menurut Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) itu, tidak dapat menjadi tolok ukur, karena negara tersebut tidak signifikan dalam pengakuan suatu negara.
Menurut Hikmahanto, Pemerintah lebih baik mengabaikan berbagai manuver Ketua United Liberation Movement for West Papua (UMLWP) tersebut. Bahkan bila perlu Polri melakukan penegakan hukum, mengingat hal tersebut dikualifikasikan sebagai tindakan makar.
Ia menyebut, mereka memanfaatkan momen 1 Desember yang oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) selalu diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua Barat, untuk mendeklarasikan pemerintahan sementara di wilayah negara Republik Indonesia pada Senin (1/12/2020) yang lalu..