JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai, kesalahan penyebutan tempat lahir Bung Karno oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantaran orang-orang di lingkungan Istana kerap memberikan data keliru.
"Mereka tidak kompeten, tidak teliti dan sangat tidak pantas duduk di jabatan di istana negara," ujar Emrus kepada TeropongSenayan di Jakarta, Jumat (5/6/2015).
Emrus menambahkan, kekeliruan tersebut tidak boleh dianggap sepele dengan hanya minta maaf, tetapi harus dipertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
"Menurut UUD 1945, jabatan presiden berfungsi sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Karena itu, setiap perilaku dan ucapannya, secara moral, dapat disejajarkan dengan keputusan dan instruksi yang dibuat presiden," tegas Emrus.
Dengan demikian, tegas Emrus, apa yang diucapkan harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan kesalahan yang dibuat.
"Sangat wajar bentuk pertanggungjawaban Sukardi Rinakit terhadap ketidakakurasian data tentang tempat kelahiran Bung Karno, harus mundur dari Tim Komunikasi Kepresidenan dan dari jabatan lain yang bersumber dari presiden," cetusnya.
Emrus mencatat, selama lebih setengah tahun masa pemerintahannya, sudah tiga kali Presiden Jokowi melontarkan pernyataan atau melakukan sesuatu yang datanya lemah.
"Kesalahan ini dapat menimbulkan keraguan bahwa Jokowi bukan anak militansi ideologi BK," pungkasnya.
Anggota Tim Komunikasi Presiden, Sukadi Rinakit akhirya meminta maaf terkait dengan pidato Presiden Joko Widodo saat memperingati Hari Kelahiran Pancasila di Blitar. Dalam Pidato itu, Jokowi menyebut kota Blitar sebagai kelahiran Soekarno, bukan Surabaya.
Permintaan maaf ini bukan hanya disampaikan Sukardi kepada seluruh rakyat Indonesia, melainkan juga secara khusus disampaikan kepada keluarga Bung Karno, terutama Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, yang hadir saat Jokowi berpidato.(yn)