JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Ekonom senior Rizal Ramli masih kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatannya atas aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu dihapus.
Menurutnya, MK tidak memiliki argumen hukum kuat ketika menolak gugatannya. Rizal juga merasa MK lebih mendengarkan kekuasan ketika menolak gugatan atas ambang batas pencalonan presiden. "Kami sangat kecewa dengan putusan MK, yang tidak memiliki argumen hukum yang kuat. MK lebih mendengarkan suara kekuasaan. MK ketakutan membiarkan kami hadir di pembahasan substansi perkara. Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami," kata Rizal, Minggu (17/1).
Rizal berpendapat, sistem presidential threshold sebesar 20 persen yang diterapkan di Indonesia, merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal. Sistem itu, kata dia, merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat, sehingga perlu dihapuskan.
"Di seluruh Dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia tetapi tidak ada pembatasan semacam presidential Threshold. Ada negara seperti Ukraina yang bahkan memiliki 39 calon presiden, dengan 18 orang dicalonkan parpol yang berbeda dan 21 orang dicalonkan independen. Itulah esensi demokrasi yang sesungguhnya, rakyat yang menyortir dan memilih calon presiden," ujar mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) itu
Rizal tengah mempertimbangkan opsi lain, setelah gugatannya atas aturan ambang batas pencalonan presiden ditolak MK. "Ini untuk mendorong pembahasan yang betul-betul berbobot dan ilmiah tentang sistem demokrasi kriminal melawan sistem demokrasi yang bersih dan amanah," ujarnya