JAKARTA ( TEROPONG SENAYAN ) -- Amerika Serikat akhirnya merilis dokumen intelijen yang mengindikasikan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MbS), merestui pembunuhan jurnalis pengkritik kerajaan, Jamal Khashoggi.
"Kami menilai Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, menyetujui operasi di Istanbul, Turki, untuk menangkap atau membunuh jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi," demikian kutipan ringkasan dokumen intelijen AS itu, sebagaimana dikutip CNN, Jumat (26/2/21).
Intelijen AS mendasarkan laporan tersebut pada sejumlah aspek, salah satunya peran besar MbS sebagai pemimpin de facto Saudi, sehingga tak mungkin keputusan besar untuk menghabisi nyawa Khashoggi diambil tanpa sepengetahuannya.
"Kami mendasarkan penilaian ini pada peran Putra Mahkota sebagai pengambil keputusan di Kerajaan, keterlibatan langsung seorang penasihat kunci dan anggota keamanan Mohammed bin Salman dalam operasi itu, juga dukungan Putra Mahkota untuk menggunakan kekerasan untuk membungkam warga di luar negeri, termasuk Khashoggi."
Khashoggi merupakan seorang kolumnis Washington Post yang kerap mengkritik Putra Mahkota. Ia dinyatakan tewas di dalam gedung konsulat Saudi di Istanbul, Turki, pada Oktober 2018 setelah sempat dinyatakan hilang. Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyimpulkan Saudi "melakukan eksekusi yang disengaja dan direncanakan sebelumnya" terhadap Khashoggi.
Meski sempat membantah, Saudi akhirnya mengakui bahwa Khashoggi tewas di dalam gedung konsulatnya. Namun, Riyadh berkeras bahwa kerajaan tak terlibat pembunuhan jurnalis itu. Mereka menegaskan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh pejabat Saudi dengan perintah gelap.
Bocoran mengenai dokumen ini sebenarnya sudah tersebar sejak beberapa hari lalu. Namun, AS baru memublikasikan dokumen itu sehari setelah Presiden Joe Biden untuk pertama kalinya menelepon Raja Salman pada Kamis (25/2/21).
Dalam pembicaraan itu, Biden menegaskan "komitmen AS untuk membantu Arab Saudi mempertahankan wilayahnya di tengah serangan dari kelompok-kelompok yang didukung Iran." Namun, berbeda dengan era Trump, Biden juga "menegaskan bahwa AS juga mementingkan hak asasi manusia universal dan supremasi hukum."
Pembicaraan langsung dengan raja tersebut dianggap sebagai salah satu simbol Biden tak mau berbicara dengan MbS yang selama ini dianggap sebagai pemimpin de facto Saudi. Rentetan keputusan ini dianggap sebagai pertanda bahwa arah politik AS di bawah Biden berbeda dengan Trump yang lebih dekat dengan MbS. Setelah perilisan dokumen ini, Biden juga diperkirakan bakal menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat Saudi yang dekat dengan MbS.