Berita
Oleh Bachtiar pada hari Senin, 17 Mei 2021 - 12:34:26 WIB
Bagikan Berita ini :

Sejumlah Pasal di Permenperin 03/2021 Diduga Berbau Kepentingan Sejumlah Kartel

tscom_news_photo_1621229666.jpg
Gula (ilustrasi) (Sumber foto : Istimewa)


JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Ketua Forum Lintas Asosiasi Pengguna Gula Rafinasi, Dwiatmoko menegaskan, klaim pernyataan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita disalahsatu media baru-baru ini terkait Permenperin 03/2021 sebagai upaya menuju swasembada perlu dipertanyakan.

Pasalnya, kata dia, jika merujuk pada isi atau pasal-pasal yang tertuang dalam aturan tersebut sama sekali tidak tersirat adanya spirit swasembada. Justru sebaliknya.

"Yang ada spirit melanggengkan praktek impor gula rafinasi. Setidaknya ada sejumlah pasal yang patut diduga justru memberikan karpet merah ke sejumlah perusahaan tertentu dan berupaya mematikan industri gula tanah air, UMKM, industri mamin khususnya di Jatim," ungkapnya kepada wartawan, Senin (17/05/2021).

Menurutnya, hal itu dapat dengan mudah teridentifikasi bahwa ada kepentingan kelompok tertentu yang diakomodir dalam Permenperin tersebut.

"Coba kita bedah misalnya soal bunyi pasal 5 huruf a. "Rekomendasi impor raw sugar hanya diberikan kepada PG yang memiliki Izin Usaha Industri (IUI) sebelum 25 Mei 2010". Itu artinya adalah pasal tersebut seperti memberikan proteksi terhadap 11 Anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) yang dimiliki oleh 5 group. Apakah ini bukan semacam legalisasi kartel/oligopoli," tandasnya.

Tentu saja, menurutnya, hal ini menyalahi UU nomor 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

"Dalam UU tersebut dijelaskan dalam pasal 1 bahwa "Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaran atas barang/jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum," paparnya.

Dwiatmoko juga menyoroti tiga poin yang disampaikan Menteri Perindustrian yang dimuat di media Industry.co.id, di Jakarta, Senin (10/5/2021).

“Kemudian, dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional ini jelas Menperin memiliki tiga poin penting.

Pertama adalah untuk mengurangi potensi kebocoran.

Menurutnya, poin pertama yang diucapkan Menperin justru bertentangan dengan bunyi Pasal 2 ayat 6.

Pasal 2 ayat 6 yang berbunyi "Dalam hal terdapat perubahan tempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, tidak diperlukan perubahan rekomendasi".

"Bila dicermati bunyi Pasal tersebut, artinya raw sugar boleh dimasukan dipelabuhan mana saja tanpa memerlukan ijin dari pemerintah. Padahal, aturan sebelumnya melarang ketat terjadinya perubahan tempat pemasukan dalam rangka mencegah rembesan. Pasal krusial ini malah sekarang dihilangkan dan diganti dengan Pasal 2 ayat 6 itu tadi," sesal Dwiatmoko.

"Pasal ini menyebabkan legalisasi gula rembesan yang tentu saja akan merugikan para petani tebu kita. Juga melanggengkan perusahaan yang sudah ditunjuk (11 perusahaan) untuk terus menghegemoni pasar. Patut diduga isi pasal-pasal tadi itu berbau kepentingan sejumlah kartel," sambungnya.

Untuk diketahui, kata dia, bahwa beda harga gula rafinasi vs gula konsumen mencapai 2,500 rupiah per kg, bisnis rembesan ini sangat menggiurkan.

"Kalau untuk mengatasi rembesan, lakukan saja audit sucofindo untuk mem-verifikasi ijin import vs PO, Surat jalan dan Faktur pajak 11 produsen gula rafinasi yang nakal cabut ijin usahanya. Dari aspek ini jelas tujuan Permenperin 03/2021 tidak bisa mengatasi rembesan," tegasnya.

Untuk diketahui, kata dia, dengan adanya Permenperin tersebut, UMKM dan industri mamin di Jatim khususnya, sekarang harus beli gula dari wilayah lain dalam hal ini dari Jawa Barat (Jabar) guna memenuhi kebutuhannya.

"Jelas akan berdampak ke sisi harga dan cost produksi UMKM, industri mamin jika kondisi demikian tidak dikaji. Yang jelas akan jauh lebih mahal harga gulanya dan kualitas gulanya pun kurang bagus. Padahal kebutuhan gula di Jatim per tahunnya mencapai 370.000 ton. Dengan jumlah kebutuhan yang cukup besar itu bisa jadi memang Permenperin itu disetting untuk mengeruk tambahan keuntungan AGRI dengan dalih industri gula di Jatim tidak mampu memenuhi kebutuhan atau dalih irasional lainnya semacam tidak adanya perkebunan," ungkapnya.

Selain itu, dia juga menyoroti konsistensi Pemerintah terkait perlunya investasi dan inovasi guna mendorong percepatan ekonomi.

"Sebelumnya Pemerintah menginginkan agar investasi dan inovasi jadi skala prioritas dalam menggenjot atau menstimulus perekonomian. Tapi kenyataannya, dengan adanya Permenperin 03/2021 justru Pabrik gula dan pabrik mamin di Jatim yang sudah menerapkan Industry 4.0 dengan biaya ratusan milyar rupiah untuk handling Bulk dan sugar syrup tidak terpakai lagi dan terancam mangkrak. Padahal disamping efisien, bulk dan sugar syrup juga untuk atasi rembesan," tegasnya.

tag: #pangan  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement