JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Presiden Joko Widodo dalam kegiatan bersama Tentara Nasional Indonesia mengingatkan adanya indikasi harga-harga barang akan naik sehingga rakyat harus bersiap-siap.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi I DPR Sukamta menyatakan bahwa Presiden Jokowi seharusnya membuat langkah nyata menghadapi ancaman krisis pangan.
"Presiden Jokowi seharusnya membuat langkah strategis menghadapi kenaikan harga-harga bahan pangan, tak cukup hanya dengan mengingatkan dan mewanti-wanti rakyat. Harga minyak goreng sudah melambung sebulan terakhir, namun langkah pemerintah tidak strategis. Pemerintah tidak berani menekan perusahaan minyak goreng untuk menurunkan harga. Jika demikian, ketakutan dan kepanikan yang akan tercipta di masyarakat. Presiden harus bisa menciptakan ketenangan," ujar Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Minggu (06/03/2022).
Diketahui, ungkap dia, harga kebutuhan pokok seperti gula, daging, kedelai, beras mengalami peningkatan harga dalam sepekan terakhir. Presiden Jokowi beralasan bahwa faktor kelangkaan kontainer, energi dan perang menjadi penyebab kenaikan harga.
Sukamta, yang juga sebagai Wakil Ketua Fraksi PKS ini, kemudian mengkritisi pernyataan Presiden Jokowi ini dalam kerangka ketahanan negara.
"Faktor-faktor kenaikan harga bahan pokok tadi merupakan faktor eksternal. Bisa terjadi kapan saja. Seharusnya pemerintah membangun kedaulatan pangan yang berasal dari sumber daya alam Indonesia, bukan bergantung pada impor. Selama pangan bergantung kepada negara lain maka ketahanan negara kita akan selalu lemah," sindirnya.
"Indonesia tidak bisa selalu bergantung pada impor apalagi dalam kondisi krisis dunia seperti ini. Jumlah pangan semakin terbatas, bisa berbahaya bagi ketahanan negara. Negara-negara produsen tentu lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negerinya sebelum ekspor. Pun jika mengekspor, harganya menjadi sangat mahal," paparnya.
"Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2021 saja, Indonesia telah mengimpor lebih dari 15 juta ton bahan pokok senilai USD8,37 miliar atau kurang lebih setara dengan Rp118,9 triliun."