JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Ramai diberitakan pemerintah akan menghapus dua dari empat kelompok barang yang saat ini bebas PPN. Kedua barang tersebut yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok.
Untuk barang kebutuhan pokok yang bebas PPN saat ini di antaranya segala jenis beras dan gabah, jagung, sagu, telur, kedelai, hingga garam dan gula.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyatakan pemerintah tak akan ‘membabi buta’ dalam mengenakan pajak.
Menurut dia, saat ini pemerintah memang membebaskan segelintir barang dan jasa dari pengenaan PPN, tanpa mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengkonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya.
Namun menurut Yustinus, hal tersebut menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Orang yang seharusnya mampu membayar, menjadi tak membayar karena mengkonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
"Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair. Caranya?" kata dia.
"Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yg hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” lanjutnya.
Ia pun mengajak pemangku kepentingan secara terbuka dan jernih memberikan masukan dan terus mengawal rencana tersebut. “Ini saatnya kita duduk bareng, bicara terbuka, jernih, dan jujur: apa yang harus kita lakukan buat bangsa dan negara tercinta? Jika soal utang dicabik-cabik tiap hari, bukankah pajak harapan kita? Jika inipun tak mau, lantas dg apa Republik ini kita ongkosi?,” kata Yustinus.
Dia menambahkan, saat ini optimalisasi pajak juga dilakukan di beberapa negara lain di tengah pandemi COVID-19. Presiden AS Joe Biden, kata Yustinus, berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 21 persen menjadi 28 persen. Selanjutnya, Inggris juga akan menaikkan tarif PPh badan dari 19 persen menjadi 23 persen.
"Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk memikirkan optimalisasi pajak untuk keberlanjutan," kata Yustinus.
Dari sisi PPN, ia mencatat ada 15 negara yang mengubah aturan pungutan demi membiayai penanganan pandemi. Rata-rata tarif PPN di 127 negara adalah 15,4 persen.
Yustinus pun mencontohkan 24 negara yang menerapkan tarif PPN di atas 20 persen, 104 negara 11 persen-20 persen. Lalu, selebihnya beragam 10 persen ke bawah.
Ada juga sejumlah negara yang mengenakan multi tarif PPN, seperti Austria sebesar 13-20 persen, Italia 10-22 persen, Latvia 5-21 persen, Prancis 10-20 persen, dan Kolombia 5-19 persen.