JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Thohir menilai, kekhawatiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kondisi utang negara saat ini cukup realistis.
"Bahwa tren penambahan utang pemerintah plus biaya bunga memang betul sudah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga dikhawatirkan dapat menyulitkan pemerintah karena ruang fiskal menjadi sangat sempit. Rasio utang yang meningkat 41.65% saat ini menjadi penyebab timbulnya kekhawatiran BPK terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Waketum PAN itu kepada wartawan, Kamis (24/06/2021).
Hafisz menambahkan, kekhawatiran BPK itu juga atas dasar bahwa telah terjadi kelebihan batas Debt to Service Ratio yang direkomendasikam IMF (Debt Relief (IDR) berkisar 25-35% yang mana saat ini telah mencapai 46.77% (sesuai dengan hasil audit BPK 2020).
"Sebetulnya ini sudah harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah dalam pengelolaan keuangannya. Karena dapat menciptakan fraud. Hal ini juga terjadi pada rasio pembayaran bunga yang melebihi batas ketentuan IMF, untuk itu kami meminta hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah," tandasnya.
Catatan lainnya, ungkap dia, pembiayaan sebesar Rp 1.195 T yang menjadi catatan khusus bagi BPK, memang melebihi kebutuhan pembiayaan (125%) untuk menutupi defisit anggaran tahun 2020 yang di APBN tercatat sebesar Rp 947,70 T atau 6,14% dari PDB.
Sehingga kelebihan ini menjadi SILPA di 2021 sebesar Rp. 245 T yang sebenarnya tidak perlu dilakukan di 2020 karena ada beban bunga ditahun berikutnya, mengingat pembiayaan ini diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
"Sementara utang pemerintah akhir 2020, telah mencapai Rp 6.074,56 T. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan akhir tahun 2019 lalu. Dalam 1 tahun, utang bertambah Rp 1.296,56 T dari akhir 2019 yang tercatat Rp 4.778 T. Sehingga menciptakan rasio utang yang cukup besar saat ini," jelasnya.
Hafisz mengungkapkan, pertumbuhan utang pemerintah selama 5 tahun terakhir telah melebih pertumbuhan GDP sehingga menciptakan ruang debt yang semakin tinggi.
"Hal ini tergambar dari Debt to GDP Ratio kita yang semakin tahun semakin tinggi 24% tahun 2014 dan 41.65% di tahun 2021," paparnya.