Bisnis
Oleh Rihad pada hari Jumat, 25 Jun 2021 - 20:56:06 WIB
Bagikan Berita ini :

Bukan Hanya BPK, Ekonom Juga Khawatir dengan Utang Besar Pemerintah

tscom_news_photo_1624629366.jpg
Faisal Basri (Sumber foto : Ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Ekonom Senior Faisal Basri menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut pembiayaan APBN didanai oleh sumber yang aman. Menurut Faisal Basri, justru defisit anggaran dibiayai oleh utang yang tak bisa dijadwal ulang saat jatuh tempo.

“Pak Presiden, 87 persen utang pemerintah berupa surat utang yang beredar di pasar. Tak bisa dijadwal ulang. Jika ada aksi jual, semaput kita,” tulis Faisal dalam akun Twitternya @FaisalBasri, Jumat (25/6).

Presiden Jokowi hari ini menerima laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020. Ia mengatakan, pemerintah akan memperhatikan rekomendasi BPK dalam mengelola pembiayaan APBN.

“Defisit anggaran dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman, dilaksanakan secara responsif mendukung kebijakan counter cyclical, dan mendukung akselerasi pemulihan sosial ekonomi, dikelola secara hati-hati, kredibel dan terukur," kata Jokowi.

Adapun total utang pemerintah hingga akhir Mei 2021 sebesar Rp 6.418,15 triliun. Berdasarkan komposisinya, 86,94 persen utang itu didominasi Surat Berharga Negara (SBN) atau Rp 5.580,02 triliun dan sisanya 13,06 persen berupa pinjaman.

SBN terdiri dari SBN domestik atau berdenominasi rupiah Rp 4.353,56 triliun dan SBN valas Rp 1.226,45 triliun.

Sebelumnya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Sehingga, pemerintah dikhawatirkan tidak mampu untuk membayar utang tersebut beserta bunganya.

"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Agung Firman dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6).

Berdasarkan audit BPK, realisasi pembiayaan mencapai Rp 1.193,29 triliun selama tahun lalu. Angka ini mencapai 125,91 persen dari nilai defisit yang sebesar Rp 947,70 triliun. BPK juga mengungkapkan bahwa rasio utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF maupun IDR. Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.

Selanjutnya, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengungkapkan bukan hanya Indonesia saja yang rasio utangnya sudah melebihi batas seperti yang ditetapkan IMF. Karena hampir semua negara mengambil langkah kebijakan countercyclical untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonominya, yang berimplikasi ke pelebaran defisit.

"IMF memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30% per PDB. Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran itu. Misalnya saja di akhir tahun 2020 Indonesia (39,39%), Filipina (48,9%), Thailand (50,4%), China (61,7%), Korea Selatan (48,4%), dan Amerika Serikat (131,2%)," jelas Yustinus kepada CNBC Indonesia.

Dalam pengelolaan utang dan pembiayaan APBN, pemerintah mengklaim sudah menjaga pada kondisi aman. Pemerintah juga menekan biaya utang. Di antaranya melakukan sinergi dengan Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan burden sharing.

tag: #utang-pemerintah  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement