JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pemerintah akhirnya menerbitkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang UU ITE.
Surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Kominfo Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta mengatakan, meski sudah ada SKB tentang UU ITE, pihaknya akan tetap concern melihat implementasi terkait penegakan hukum dalam prakteknya.
"Kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk membenahi penegakan hukum dari UU ITE, hingga terbitnya SKB. Tapi, ada 2 hal yang kami soroti dengan terbitnya SKB, yaitu soal substansi hukum dan penegakan hukum," ujar Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/06/2021).
"Pertama, dari segi substansi, bagaimana nasib revisi UU ITE? Sementara hulu persoalan ada di level undang-undang. Adanya SKB ini jangan dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi UU ITE," sambungnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS ini juga mempertanyakan kedudukan SKB tersebut dalam hukum positif kita.
"Memang pemerintah punya diskresi, tapi apakah berlaku untuk kasus yang sudah ada aturan perundang-undangannya? Tidak ada bridging dari UU ITE dengan pembuatan SKB UU ITE ini, karena UU ITE tidak mengamanatkannya," jelas dia.
Oleh karena itu, Sukamta menegaskan revisi UU ITE tetap wajib dilakukan. Baik dengan memperjelas delik yang ada dengan menambah pasal di UU ITE maupun mengharmoniskannya dengan ketentuan delik dalam Rancangan revisi KUHP.
"Supaya tidak ada lagi penafsiran yang berbeda-beda untuk diterapkan kepada obyek hukum yang berbeda atau yang sering disebut pasal karet," ujarnya.
Kedua, Sukamta juga menyoroti aspek penegakan hukumnya, seperti akumulasi (gabungan) pidana yang dilakukan pada kasus tertentu di lapangan. Soal gabungan pidana ini terdapat 3 pandangan, yaitu Concursus idealis (gabungan satu perbuatan), Voortgezette handelling (perbuatan berkelanjutan) dan Concursus realis (gabungan beberapa perbuatan).
Soal Concursus idealis, KUHP pasal 63 mengatur bahwa sanksi yang diberikan kepada seseorang adalah yang paling memenuhi prinsip lex specialis.
"Prinsip hukumnya, satu tindak pidana hanya dapat dihukum dengan satu sanksi, tidak bisa akumulatif. Jika terdapat beberapa peraturan yang mengatur sanksi untuk satu tindak pidana, maka yang berlaku adalah peraturan yang paling khusus atau spesialis. Akumulasi pidana hanya berlaku dalam tindak kejahatan berlanjut (satu perbuatan diikuti / mengakibatkan perbuatan lainnya) dan gabungan perbuatan kejahatan (berlapis)."
Sukamta menyoroti dalam hal ini batasan dan itikad penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan merupakan akibat ikutan (lanjutan) dari suatu perbuatan lainnya.
Sukamta juga menekankan, penegak hukum harus bisa membuktikan hal tersebut dengan cermat, tidak bisa gegabah. Misalnya, suatu perbuatan menyebarkan hoaks, tidak serta merta mengakibatkan suatu perbuatan membuat keonaran dengan sengaja. Di sini penegak hukum harus berpijak pada ultimum remedium dan restorative justice, yang spiritnya tidak mudah untuk menjatuhkan hukuman, bahwa hukuman adalah jalan terakhir.
"Ke depannya kita berharap jagat maya terpelihara baik dengan penegakan hukum yang tegak lurus demi hukum, bukan demi kepentingan, baik kepentingan politik maupun material," harap wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.