JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yang tergabung dalam Forum G20 menyepakati sistem perpajakan internasional dengan telah ditetapkannya Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy.
Persetujuan atas kedua pilar telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. Apa dampaknya untuk Indonesia?
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional, akan berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional.
Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar minimum € 20 miliar dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi minimum 10% sebelum pajak.
"Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia," kata Febrio dalam keterangan resminya, Kamis (15/7).
Febrio mengatakan, sebelum adanya kesepakatan pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki bentuk usaha tetap (BUT). Sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki. Namun dengan adanya kesepakatan pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut.
Selanjutnya, kesepakatan pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional dengan minimum omset konsolidasi sebesar € 750 juta harus membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili.
Dengan demikian, pilar 2 menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan race to the bottom. Sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.
"Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%," ujar Febrio.
Selain itu, adanya kesepakatan pilar 2 mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.
Namun, pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental.
“Pemerintah cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha”, kata Febrio.
Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena BEPS. Berdasarkan OECD, 60% hingga 80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.
"Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37% hingga 42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat," kata Febrio.
Selama ini Indonesia menghadapi base erosion profit shifting (BEPS) akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut.
BEPS adalah tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional. Praktik ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak yang menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara.
Bank Dunia sebelumnya mencatat dari praktik BEPS kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$ 100 miliar hingga US$ 240 miliar, atau setara dengan 4% sampai dengan 10% produk domestik bruto (PDB) global.