JAKARTA (TERONGSENAYAN) --Pengamat Ekonomi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro meminta pemerintah mengambil sikap tegas mengenai obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan menghentikan (moratorium) pembayaran bunga sesegera mungkin.
Selain membebani keuangan negara dan mengorbankan hak rakyat kecil karena pajak rakyat digunakan untuk makin memperkaya konglomerat pemilik bank, pembayaran bunga obligasi rekap juga membuat konglomerat tersebut makin menguasai hajat hidup orang banyak.
Menurutnya, konglomerat pemilik bank seharusnya orang yang bertanggungjawab atas krisis ekonomi 1998. Namun anehnya, hingga sekarang, negara terus membiayai mereka melalui instrumen obligasi rekap ini. Padahal harga energi dan pangan terus naik dan ditanggung oleh rakyat.
“Pemerintah membayar kepada para konglomerat dari uang negara, dan konglomerat tersebut melalui berbagai perusahaan yang berbeda namun terafiliasi malam beli-beli kembali aset-aset negara strategis seperti jalan tol yang produktif. Ini sama saja dengan memberi mereka modal untuk membeli aset negara yang produktif. Jadi sudah menjadi sebab krisis 1998, malah sekarang mengambil semua aset strategis negara,” kata Sasmito di Jakarta, Rabu (13/7).
Sasmito mengatakan hal itu mengacu pada berita pembelian tol layang Jakarta-Cikampek (MBZ) milik Jasa Marga yang dibeli salah satu grup Salim senilai Rp 4 Triliun.
Padahal terang Sasmito, Grup Salim pada saat krismon 1998 selain menerima BLBI juga menerima obligasi rekap yang bunganya terus dibayar oleh negara sampai saat ini.
Untuk BLBI yang berupa uang kas keras, Grup Salim, menurut Sasmito, patut diduga menerima BLBI Rp 33 Triiun yang hanya dia bayar dengan uang senilai Rp 8 Triliun + 93 persen saham BCA.
Kemudian saham BCA ini dijual pemerintah hanya senilai Rp 5 Triliun untuk 50 persen kepemilikan alias dijual senilai total Rp 10 Trilun dan itu sudah dianggap lunas.
Tetapi sebenarnya Grup Salim sekaligus saking pintarnya, patut diduga, bisa merekayasa mengambil kredit dari bank yang dikuasai tersebut, yakni BCA, senilai Rp 53 Triiun.
Dari 53 Triiliun tersebut waktu ditagih oleh BPPN dia hanya membayar Rp 100 Miliar saja ditambah menyerahkan seluruh perusahaannya sebanyak 108 perusahaan.
Namun, dari 108 perusahaan ini ketika dijual obral negara hanya mendapat Rp 20 Triliun.
Dengan fakta tersebut tegas Sasmito, Grup Salim dianggap telah beres membayar kewajibannya dengan patut diduga diatur melalui penandatanganan Master Settlement Agreement Acquisition (MSAA) sehingga dianggap lunas oleh negara.
Dan sekarang setelah berlalu 18 tahun, grup tersebut dengan enteng melakukan akuisisi 40 persen saham Jalan Layang Tol MBZ Jakarta-Cikampek dengan biaya Rp 4 Triliun.
“Fenomena permainan taipan Grup Salim yang borong-borong aset negara dan bertengger menjadi orang terkaya No 3 di Indonesia saat ini versi Forbes bisa untuk dicermati oleh Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) dugaan kongkalikong atau hengki pengki antara grup tersebut dengan pengambil kebijakan sehingga kok ujug-ujug utangnya lunas,” papar Sasmito.
Padahal menurut Sasmito, di saat yang sama BCA juga memegang obligasi rekap senilai Rp 60 Triliun yang mendapat pembayaran bunga atau kupon dari pemerintah enam triliun rupiah setahun.
Konglomerat seperti Grup Salim menurut Sasmito mustinya menjadi perhatian utama dari Satgas BLBI maupun Pansus BLBI DPD RI karena sedemikian merugikan negara dan malah menjadi penguasa aset-aset penting negara.
“Pembelian kembali BCA yang sekarang market valuenya sudah sampai 1000 Triliun rupiah itu harus menjadi pengalaman berharga. Konglomerat yang jelas-jelas merugikan negara kok dibiarkan memiliki aset penting, Bank BCA, yang sudah dimiliki negara saat itu. Sekarang jalan tol kan sama saja, ini jalan tol penting, dimiliki BUMN, malah mau diakusisi pakai duit bunga rekap,” papar Sasmito.
Sasmito juga meminta pembayaran bunga rekap BLBI dihentikan karena sangat membebani keuangan negara.
“Masih ada bunga rekap yang terus saja dibayar negara. Setop itu, moratorium,” pungkasnya.