JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Komisi X DPR RI mendorong pelibatan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjadi pembina bagi siswa di sekolah, sebagai bagian dari Bimbingan Penyuluhan (BP). Pelibatan APH dinilai akan berperan untuk mengatasi pelanggaran yang dilakukan siswa, termasuk perilaku bullying yang kini tengah marak terjadi.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf menilai pembina teritorial seperti Babinsa dan Bhabinkamtibmas dapat mengatasi berbagai bentuk ‘kenakalan’ siswa dengan memberikan disiplin edukatif. Sebab Babinsa dari TNI dan Bhabinkamtibmas dari Polri merupakan unsur aparat yang bersentuhan langsung dengan pembinaan terhadap masyarakat.
"Guru BP itu harusnya diambil dari penegak hukum bisa Bhabinkamtibmas atau Babinsa. Tapi itu harus disepakati bersama, sehingga penegakkan disiplin di lingkungan sekolah dilakukan sesuai dengan Tupoksinya," kata Dede Yusuf, Selasa (3/10/2023).
Dede menilai, peran guru saat ini telah berubah menyusul perkembangan zaman. Tidak seperti masa yang lampau di mana guru bisa tegas memberi sanksi kepada murid, guru saat ini hanya bisa berfokus pada pengajaran akademik dan konseling.
Karena berbagai alasan dan faktor termasuk urusan Hak Asasi Manusia (HAM), guru kini terkesan mengabaikan kenakalan siswa. Dede menyebut, banyak guru enggan memberikan sanksi disiplin kepada siswa karena takut dilaporkan ke pihak berwajib oleh orangtua murid.
“Guru atau kepala sekolah umumnya takut melakukan pendisiplinan karena kuatir diadukan ke penegak hukum. Dan guru tidak pernah belajar cara melakukan sanksi fisik yang benar,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Barat II ini.
“Akhirnya guru memilih untuk lepas tangan kalau ada masalah karena sering terjadi justru guru yang akhirnya berurusan dengan hukum,” sambung Dede.
Dede pun mendorong adanya revisi Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Sebab menurutnya, aturan tersebut belum maksimal dalam mencegah kekerasan di satuan pendidikan.
"Aturan di Permendikbud sekarang lemah dalam implementasi di sekolah. Menurut saya Permendikbud itu harus menyepakati tentang edukatif disiplin. Jadi penegakan disiplin secara edukatif,” ujarnya.
Dede menilai, banyaknya kasus kekerasan atau bullying yang melibatkan anak sekolah terjadi karena saat ini implementasi pemberian disiplin di sekolah sangat kurang. Bahkan dalam Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023, tidak ada sanksi tegas atas pelanggaran.
“Fungsi pengawasan dan pendidikan, dilepas ke satuan sekolah. Padahal, banyak satuan sekolah belum mendapatkan sosialisasi atau advokasi. Banyak guru kalau saya tanya, mereka tidak berani bersikap,” ungkap Dede.
Dede menyebut, anak-anak akan merasa tidak memiliki batasan jika tidak ada disiplin yang tegas. “Yang berkembang sekarang ini anak-anak menganggap apa yang dilakukan biasa saja karena tidak ada hukum, tidak ada sanksi juga,” tuturnya.
Pelibatan unsur APH dianggap akan lebih efektif untuk mendisiplinkan siswa. Fungsi APH adalah sebagai pengawas dalam pembinaan siswa, khususnya dalam hal pemberian sanksi disiplin. Apalagi saat ini peran BP di sekolah tidak begitu terasa.
“Untuk mengatasi pelanggaran di sekolah, harus ada guru BP. Dulu guru BP ditakuti. Jadi sekarang bisa dengan bantuan Babinsa atau Polisi. Supaya nanti kalau guru melempar pakai kapur, besoknya tidak langsung dipanggil Polisi,” imbau Dede.
“Guru sekarang bukan tupoksinya memberikan hukuman, karena sebatas mengajar. Ada BP pun lebih pada konseling aja. Yang menegakkan hukum sanksi disiplin itu nggak ada, jadi nggak ada yang ditakutin di sekolah,” tambahnya.
Dede pun memberi contoh sebuah kejadian yang viral belum lama ini di mana seorang siswa mendapat nasihat tegas dari personel TNI untuk masuk sekolah. Dalam video yang beredar, tampak siswa tersebut mendengarkan ‘omelan’ dari anggota TNI secara seksama kemudian berjanji tidak akan membolos lagi.
Dalam narasi video itu disebutkan sang anak cukup membandel karena jarang masuk sekolah. Baik orangtua dan gurunya pun tak pernah didengar, hingga akhirnya personel TNI turun tangan memberi anak itu peringatan.
Menurut Dede, kehadiran unsur APH yang dikenal tegas memang diperlukan agar anak-anak sekolah takut untuk melakukan pelanggaran. Meski begitu, pelibatan unsur APH ini harus menjadi kesepakatan bersama dan tertuang dalam aturan resmi seperti Permendikbud yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
“Harus disepakati antara pihak sekolah, komite orangtua, dan penegak hukum. Jadi nanti penegak hukum bisa sama-sama memahami turunan dari Permendikbud itu, namanya adalah edukatif disiplin,” terang Dede.
Selain kesepakatan soal pelibatan unsur APH pada edukasi disiplin, semua stakeholder juga harus sama-sama menyepakati mengenai sanksi yang diberikan atas pelanggaran siswa. Menurut Dede, dalam Permendikbud juga harus disepakati tentang kategori pelanggaran beserta sanksinya.
“Misalnya kalau menjambak sanksinya apa, menghina atau memukul sanksinya bagaimana. Ada kategori dan tingkatannya. Kalau sampai meninggal tentu ada hukuman, walau kalau anak-anak undang-undangnya khusus menggunakan sistem peradilan anak,” sebut mantan Wagub Jawa Barat itu.
“Intinya disepakati bentuk disiplin edukatif seperti apa, lalu sanksi yang diberikan di sekolah yang boleh yang mana, dan mana yang tidak boleh,” lanjut Dede.
Penegakan disiplin di sekolah dinilai penting sebagai salah satu upaya mendidik anak agar bertumbuh menjadi generasi unggul. Dede mengatakan ciri generasi unggul bukan hanya dilihat dari prestasi akademik semata, tapi juga dari karakter anak.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran bersama dari semua pihak untuk memberi disiplin pada siswa apabila melakukan pelanggaran atau kenakalan. Termasuk, menurut Dede, kesadaran dari orangtua agar sang anak bisa tumbuh berkembang dengan baik.
“Harus ada teguran bahkan sampai sanksi yang bisa diberikan sekolah apabila ada pelanggaran. Namun bentuk "teguran edukatif" ini harus disepakati bersama sehingga tidak rancu diterjemahkan lain pihak,” urainya.
“Dan penegakan disiplin harus juga dilindungi oleh aturan, sehingga guru yang menegur atau memberi sanksi tidak dikriminalisasi juga,” kata Dede.
Terlepas dari persoalan penegakan disiplin, Dede menilai orangtua dan guru perlu mendorong anak atau siswa melakukan tambahan aktivitas lain di luar kegiatan belajar di sekolah. Dengan begitu, waktu luang anak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan positif ketimbang hal-hal yang berpotensi memicu pelanggaran.
“Perlunya kegiatan ekskul fisik seperti olahraga, Pramuka, Paskibra, dan bela diri dihidupkan kembali. Agar energi siswa bisa tersalurkan dengan disiplin dan kerja sama.Sehingga akan mencegah keinginan siswa berbuat kasar ke teman-temannya,” tutup Dede.