JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Setiap tanggal 26 Juni diperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional. Namun, sampai saat ini di Indonesia masih berlangsung praktik-praktif penyiksaan. Diduga pelaku penyiksaan masih didominasi justru oleh Kepolisian RI.
Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, praktik-praktik kekerasan di Indonesia disebabkan karena absennya penegakan hukum yang jauh dari agenda transparansi, akuntabel, jujur, dan adil terhadap para pelaku penyiksaan dan tindakan kejam lainnya oleh aparat penegak hukum.
"Hal itu juga karena kerap digunakannya mekanisme etik (internal) untuk menghadirkan akuntabilitas terhadap para pelaku penyiksaan, dengan menitikberatkan sanksi administratif sehingga memperpanjang rantai impunitas," kata Haris di Jakarta, Kamis (25/6/2015).
Penyebab lainnya, lanjut Haris, karena terbatasnya pemahaman dari sisi aparat penegak hukum terkait dengan pemenuhan hak-hak korban, serta kemampuan institusi penegakan hukum untuk mendorong lahirnya efek jera kepada para oknum.
"Penyiksaan juga terjadi karena rendahnya kapasitas Negara untuk mau mempercepat proses revisi atas peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait pasal-pasal penghukuman terhadap praktik penyikdaan dan tindak kejam lainnya," papar Haris.
KontraS merilis pada bulan Juni 2014 hingga mei 2015, terdapat 84 angka penyiksaan dan tercatat 274 orang menjadi korban.
Rinciannya, orang tewas dari pihak polisi ada sembilan orang, TNI ada 3 orang, dan sipir penjara ada 4 orang. Sedangkan korban luka dari pihak polisi ada 15 orang, TNI ada 20, dan sipir penjara ada 32 orang.
KontraS juga mencatat setidaknya pelaku penyiksaan didominasi oleh tiga institusi, Polri, TNI, dan petugas sipir penjara.
"Peringkat pertama, polisi menempati posisi tertinggi, tercatat 35 tindakan penyiksaan. Polisi mengakibatkan 37 orang korban, sembilan orang tewas, 27 luka-luka, dan satu orang luka ringan," kata Haris.
Haris menerangkan, peringkat kedua ditempati oleh petugas sipir yaitu 15 tindakan penyiksaan. "Tindakan petugas sipir mengakibatkan empat orang tewas, 32 orang luka-luka dan tujuh orang luka ringan," katanya.
"Peringkat ketiga ditempati TNI dengan 9 tindakan penyiksaan, 3 orang tewas dan 20 orang luka-luka," ungkap Haris.
Pihaknya juga mencatat 25 hukuman cambuk yang dilakukan oleh aparat Pemda Aceh dalam setahun ini, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Provinsi NAD.
"Hukum cambuk dilakukan terhadap 183 orang," ujar Haris.
Haris berharap, Negara harus menghentikan praktik-praktik penyiksaan di Indonesia.
"Negara juga harus memastikan dan menghadirkan ruang evaluasi atas peningkatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, serta keamanan khususnya pihak kepolisian dan TNI dalam melakukan tugas-tugas pokoknya," ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah harus mempercepat proses pembahasan RUU Perubahan KUHP dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan menjadi sebuah kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum.
"Institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan, dan pemulihan secara ketat dan harus memnggunakan alat ukur terpercaya untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan," tandasnya. (iy)