Opini
Oleh Ahmadie Thaha (Pengaruh Pesantren Tadabbur al-Qur'an) pada hari Kamis, 31 Okt 2024 - 07:43:12 WIB
Bagikan Berita ini :

Drama Gula Kristal

tscom_news_photo_1730335392.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Siapa yang tak kenal Tom Lembong? Bukan sembarang orang. Mantan Menteri Perdagangan era Jokowi yang terkenal dengan kecerdasannya, lulusan Harvard pula! Tapi ironisnya, sekarang justru dia masuk ke dalam drama hukum yang penuh aroma manuver politik.

Bukan hanya soal tuduhan terkait izin impor gula. Tapi, satu hal yang digaris-bawahi publik: ternyata ada rencana yang lebih manis (atau pahit?) di balik layar, yang tak lain bertujuan mengganjal ambisi politik Anies Baswedan di 2029. Ini dia adegan-adegan dramanya yang, maaf sekali, belum sempat dibuatkan videonya.

Adegan Satu: Tuduhan atau Dugaan?

Kejaksaan Agung menuduh Lembong memberikan izin impor gula kristal sebanyak 105 ribu ton —cukup untuk membanjiri dapur ibu kota selama setahun. Tapi mari kita lihat fakta di balik tuduhan ini: ternyata, aliran dana Rp400 miliar yang disebut-sebut merugikan negara masih “dalam penyelidikan”. Bukan dalam penyidikan. Keduanya beda jauh.

Alih-alih memiliki bukti kuat, pihak Kejagung malah mengatakan “masih menelusuri” aliran dana dan “akan menghitung ulang kerugian negara.” Dengan kata lain, ini adalah “tuduhan sementara,” alias belum jelas siapa sebenarnya yang menikmati duit raksasa itu.

Tentu saja, hal ini mengingatkan kita pada pepatah: "Hukum di Indonesia bisa berubah bak roller coaster."

Adegan Dua: Opera Sandiwara Politika

Sebagian pengamat menilai kasus ini bukanlah soal hukum murni, tapi politik. Lembong dikenal dekat dengan Anies Baswedan, tokoh yang sempat dicalonkan untuk 2024 tapi harus puas menonton Prabowo melenggang. Apakah ini motif di balik tiba-tiba kasus gula ini “diolah ulang” setelah sembilan tahun lalu? Memangnya, berapa tahun kita bisa menyimpan gula sebelum menjadi kecut?

Mari kita lihat skenarionya: Anies kabarnya sedang menimbang untuk menyetujui usulan pendukungnya membuat partai baru bernama “Partai Perubahan”. Dengan dukungan Lembong sebagai penyandang dana, banyak pihak menilai partai baru ini bisa mendongkrak suara Anies di 2029. Bahkan, belum apa-apa suara yang didapatnya bisa langsung 30%. Dahsyat.

Nah, jika rencana kawan pendukung Anies untuk bikin partai tadi berhasil, para “penjaga status quo” tentu merasa kursi mereka terancam dalam bahaya. Maka dari itu, langkah paling logis adalah —betul sekali— memotong jalur pendanaan sejak dini.

Adegan Tiga: Drama Gula Kristal atau Sekedar Pemain Figuran?

Tak hanya Lembong yang menjadi sorotan. Ada pula Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), yang juga terseret kasus ini. Sang direktur yang juga “terjebak” di pusaran kasus ini mungkin hanya figuran, namun kasus ini sudah seperti episode panjang dari sinetron “Gula Kristal dan Sandiwara Politik,” di mana setiap episode selalu diakhiri dengan cliffhanger.

Masalahnya, itu tadi, pihak Kejaksaan Agung belum punya bukit jelas, dengan selalu mengatakan “akan mendalami,” “masih akan ditelusuri,” dan “belum ada bukti.” Di dunia politik, kalimat ini setara dengan mengatakan, “Kita akan lihat bagaimana rating pemirsa.” Rating itu sama dengan suara anda, teriakan kita kita.

Adegan Empat: Lembong, Anies, dan Permainan Catur

Dalam dunia bisnis, Tom Lembong bukanlah nama kecil. Keluarganya memiliki jaringan besar, dari rumah sakit hingga apotek. Lembong pun cukup vokal, sering mengkritik pemerintah, khususnya terkait kebijakan nikel dan hilirisasi yang dianggapnya terlalu sempit. IKN juga dikritiknya.

Kritiknya yang menohok sering berseberangan dengan Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM yang gemar menyebutnya “halusinasi tingkat tinggi.” Bagaimana jadinya jika salah satu pemain penting dalam ekonomi “anti-hilirisasi” seperti Lembong mendukung Anies yang berencana mengusung isu ekonomi yang lebih luas?

Pola ini mulai mirip dengan permainan catur di mana setiap langkah pemain utama menentukan jalur bagi pion-pion di depannya. Melihat ancaman Anies dan rencana partai barunya, jalur Lembong sebagai “donatur dan penasihat ekonomi” harus disetop. Seakan-akan, ini adalah strategi klasik untuk memblokir bidak agar tidak menyeberang dan menjadi ratu.

Adegan Lima: Tuduhan atau Cermin?

Kita tentu tahu, politik Indonesia memang selalu penuh kejutan. Di tengah hiruk-pikuk ini, seharusnya para aktor di balik layar tak hanya menyajikan cerita, tetapi juga logika.

Masyarakat Indonesia sudah cukup pintar melihat drama yang bergulir, di mana hukum seringkali tidak berjalan pada koridor keadilan murni, melainkan sebagai refleksi dari “kebutuhan politis”.

Mari kita tunggu episode selanjutnya, atau lebih tepatnya, episode lanjutan dari sandiwara politik yang sudah seperti sinetron ini.

Di sisi lain, bagi para aktor di dalamnya, mereka sudah tahu bahwa kekuasaan adalah panggung. Mereka boleh saja membuat narasi hukum atau alasan-alasan manis —tetapi ingat, rakyat selalu menonton dengan kritis.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...