JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia terus menjadi perhatian serius.
Salah satu wacana penting adalah penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan.
Langkah ini dinilai mampu memperkuat upaya pemulihan kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, terutama dalam kondisi di mana pelaku tidak dapat dijerat melalui jalur pidana konvensional.
Namun demikian menurut Ahli Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, untuk menerapkan penerapan NCB di Indonesia, memerlukan beberapa perbaikan, baik dari sisi regulasi maupun budaya hukum.
Hardjuno menilai, Indonesia membutuhkan regulasi yang secara khusus mengatur mekanisme NCB agar dapat berjalan efektif.
Saat ini, sebagian besar perampasan aset diatur dalam kerangka hukum pidana melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Namun, mekanisme ini mensyaratkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum teta sebelum aset dapat dirampas.
“Dalam banyak kasus, kondisi seperti meninggalnya pelaku atau kurangnya alat bukti sering kali menghambat proses hukum pidana. Di sinilah NCB menjadi relevan, karena memungkinkan negara untuk merampas aset tanpa harus menunggu pelaku dinyatakan bersalah,” jelas Hardjuno.
Menurutnya, regulasi NCB membutuhkan pendekatan hukum perdata yang terpisah dari hukum pidana. “Jika digabungkan dengan UU Tipikor, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih yang menghambat implementasi NCB,” tambahnya.
Tantangan Implementasi
Meski potensial, Hardjuno menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan NCB.
Salah satunya adalah resistensi politik dan birokrasi.
“Banyak kasus korupsi melibatkan aktor-aktor dari sektor politik dan birokrasi, yang bisa saja menghambat pelaksanaan instrumen ini. Dibutuhkan keberanian politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah,” tegasnya.
Ia juga menekankan perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
“Perampasan aset tanpa pemidanaan harus dilakukan secara transparan, dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Proses ini tidak boleh melanggar prinsip keadilan, terutama terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam tindak pidana,” ujarnya.
Hardjuno juga menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mengimplementasikan NCB.
“Sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri. Indonesia perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara lain, terutama yang menjadi surga bagi aset koruptor,” kata dia.
Ia mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia yang telah berhasil menggunakan NCB untuk memulihkan aset yang disembunyikan di luar negeri.
“Kita bisa belajar dari mereka. Dengan pendekatan yang tepat, NCB bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memerangi korupsi,” tambahnya.
Harapan ke Depan, Hardjuno berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang saat ini sedang dibahas dapat segera disahkan dengan kerangka hukum yang jelas dan implementasi yang matang.
“RUU ini penting untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak lagi dapat menikmati hasil korupsinya,” pungkasnya.
Melalui penerapan NCB yang efektif, Hardjuno optimistis bahwa Indonesia dapat menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi.
“Kuncinya adalah konsistensi dan komitmen dari semua pihak. Jika ini bisa diwujudkan, tidak ada lagi tempat bagi koruptor untuk bersembunyi,” tutupnya.