Bandung, 1920-an—Langit mendung menggelayut di atas perkampungan petani di Pekalongan. Di sebuah balai desa yang sederhana, puluhan petani berkumpul dengan wajah penuh kecemasan. Mereka bukan hanya khawatir akan panen mereka, tetapi juga nasib tanah yang selama ini menjadi sumber kehidupan keluarga mereka. Sebuah surat keputusan pemerintah kolonial mengancam hak mereka atas tanah, merestui pengusaha Perkebunan Tebu Wonopringgo untuk mengambil alih lahan secara paksa.
Di tengah kegelisahan itu, seorang pria berdiri tegak di hadapan mereka. Wajahnya keras, sorot matanya tajam, namun kata-katanya mengalir dengan kelembutan seorang guru yang memahami derita murid-muridnya. Ia adalah Otto Iskandar di Nata, seorang pendidik yang tak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga di lapangan perjuangan.
Kemanusiaan yang Tertindas
Bagi Otto, tanah bukan sekadar sepetak lahan. Tanah adalah ibu yang memberi kehidupan, tempat berpijak bagi mereka yang menggantungkan harapan pada bulir padi yang tumbuh di dalamnya. Namun, dalam sistem kolonial yang timpang, hak atas tanah bisa berubah menjadi alat penindasan.
Para petani di Pekalongan dipaksa memilih antara dua jalan pahit: menyerahkan tanah mereka atau menghadapi ancaman dari pemerintah kolonial. Banyak di antara mereka yang akhirnya menyerah, bukan karena takut, tetapi karena pilihan lain tak tersedia.
Otto tidak tinggal diam. Baginya, keadilan bukanlah teori yang hanya dibicarakan di Volksraad (Dewan Rakyat), tetapi harus diperjuangkan di tengah rakyat. Ia membongkar kasus ini ke publik, mengungkap bagaimana para petani ditekan dengan ancaman dan intimidasi. Ia tidak sekadar berbicara dari podium, tetapi turun langsung menemui para korban, mendengar suara mereka, dan merasakan kepedihan mereka.
Ancaman pun datang. Residen Pekalongan yang melindungi pengusaha perkebunan tidak terima dengan keberanian Otto. Ia mengancam akan mengirim Otto ke Boven Digul, tempat pembuangan bagi mereka yang dianggap membangkang oleh pemerintah kolonial. Namun, ketakutan bukan bagian dari kamus hidup Otto. Dengan nyali seorang pejuang, ia terus menekan pemerintah kolonial agar hak-hak rakyat dikembalikan. Perjuangannya membuahkan hasil: tanah kembali ke tangan petani, dan sang residen kehilangan jabatannya.
Namun, kemenangan ini harus dibayar mahal. Otto dipindahkan ke Batavia, jauh dari tanah tempat ia berjuang bersama rakyatnya. Tetapi, api perjuangan itu tak pernah padam.
Dari Guru ke Pejuang Bangsa
Di Batavia, Otto tidak berhenti memperjuangkan keadilan. Ia mengajar di HIS Muhammadiyah, mendidik generasi muda dengan nilai-nilai kebangsaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Di tengah ruang kelas yang penuh dengan papan tulis dan bangku kayu, ia tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga kesadaran: bahwa hidup bukan hanya tentang mencari makan, tetapi juga tentang memperjuangkan hak dan martabat.
Kegelisahan terhadap ketimpangan sosial membawanya bergabung dengan Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat Sunda dalam sistem kolonial. Dari sini, langkahnya semakin besar: ia terpilih sebagai anggota Volksraad pada 1930.
Di dewan yang didominasi oleh suara-suara kolonial, Otto menjadi suara perlawanan. Ia bukan hanya menyuarakan kepentingan rakyatnya, tetapi juga mengkritik sistem kolonial yang menindas banyak golongan. Julukan "Si Jalak Harupat" melekat padanya—jalak yang berani, tak kenal takut, dan terus berkicau meski dihadang badai.
Otto dan Salam Kebangsaan "Merdeka!"
Perjuangan Otto mencapai puncaknya di masa-masa menuju kemerdekaan. Ia adalah salah satu tokoh pertama yang menggagas pekik "Merdeka!" sebagai salam kebangsaan, jauh sebelum kemerdekaan benar-benar diraih. Kata itu bukan sekadar slogan, melainkan seruan bagi rakyat yang selama ini terbelenggu dalam ketidakadilan.
Lebih dari itu, Otto juga menjadi tokoh yang pertama kali mengusulkan Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan.
Namun, sejarah sering kali menempuh jalan yang pahit bagi para pejuangnya. Seperti halnya keberanian yang membawa Otto ke puncak perlawanan, hal itu pula yang membawanya ke akhir yang tragis. Tak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Otto diculik dan dibunuh oleh kelompok bersenjata yang memiliki kepentingan politik tersendiri. Hingga kini, jasadnya tak pernah ditemukan, namanya hanya tinggal kenangan dalam riwayat perjuangan bangsa.
Refleksi: Apa yang Kita Pelajari dari Otto?
Dalam gejolak politik, sosial, dan ekonomi Indonesia saat ini, kisah Otto Iskandar di Nata tetap relevan. Persoalan tanah dan ketimpangan sosial masih menjadi isu yang belum tuntas. Para petani dan masyarakat adat masih berjuang mempertahankan hak mereka dari kekuatan modal dan kepentingan politik.
Jika Otto masih ada, ia mungkin akan tetap berada di barisan rakyat, menggugat ketidakadilan dan memperjuangkan kemanusiaan. Ia telah menunjukkan bahwa seorang guru bisa menjadi pejuang, bahwa perjuangan tidak mengenal batas profesi, dan bahwa keberanian untuk membela yang lemah adalah warisan terbesar yang bisa diberikan seorang pemimpin kepada bangsanya.
Maka, ketika kita mengingat Otto Iskandar di Nata, kita bukan hanya mengenang sosok pejuang. Kita juga diingatkan bahwa perjuangan itu belum selesai. Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin bagi kita untuk menatap masa depan dengan lebih berani dan penuh rasa keadilan.
Selamat beristirahat, Si Jalak Harupat. Suaramu masih bergema dalam perjuangan rakyat Indonesia.