Tan Malaka adalah sosok revolusioner yang tidak hanya bergerak di medan perang fisik, tetapi juga di ranah pemikiran dan strategi politik. Setelah bertahun-tahun berkelana di luar negeri, termasuk di Uni Soviet, ia kembali ke Indonesia melalui Vietnam, membawa pengalaman, pemahaman ideologi, dan strategi perjuangan baru untuk revolusi Indonesia.
Di Uni Soviet: Belajar dan Berafiliasi dengan Komunisme Internasional
Pada awal 1920-an, Tan Malaka mendapat kesempatan untuk pergi ke Uni Soviet, pusat gerakan komunis dunia saat itu. Di sana, ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting dalam Komunis Internasional (Komintern) dan menyerap gagasan revolusi global.
Secara ideologis, Tan Malaka lebih dekat dengan Leon Trotsky dibandingkan dengan Joseph Stalin. Ia mendukung konsep revolusi permanen, yang menekankan bahwa perjuangan kelas harus terus berlangsung dan tidak boleh berhenti hanya pada tahap nasional. Ini berbeda dengan garis Stalinisme, yang lebih fokus pada pembangunan sosialisme dalam satu negara terlebih dahulu sebelum mengekspor revolusi ke negara lain.
Namun, meskipun belajar di Uni Soviet, Tan Malaka tidak begitu saja menjadi pengikut garis politik Moskow. Ia lebih bersikap independen dan bahkan sering mengkritik pendekatan Komintern yang dianggap terlalu kaku dalam menangani revolusi di negara-negara jajahan. Baginya, perjuangan kemerdekaan Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi lokal, bukan sekadar mengikuti model revolusi Rusia.
Kembali ke Indonesia Melalui Vietnam
Setelah dari Uni Soviet, Tan Malaka melanjutkan perjalanannya ke berbagai negara, termasuk China, Thailand, dan Filipina, sebelum akhirnya masuk ke Vietnam pada awal 1940-an. Di Vietnam, ia berhubungan dengan jaringan gerakan komunis Asia Tenggara, termasuk kelompok-kelompok revolusioner yang terinspirasi oleh Ho Chi Minh.
Dari Vietnam, Tan Malaka akhirnya kembali ke Indonesia pada 1942, di tengah pendudukan Jepang. Kepulangannya bukan sekadar untuk menyaksikan perubahan, tetapi untuk kembali terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan.
Garis Politik di Indonesia: Antara Komunisme dan Nasionalisme
Meskipun memiliki latar belakang komunis, Tan Malaka tidak serta-merta mengikuti garis politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu lebih dekat dengan Komintern. Ia lebih menekankan sintesis antara nasionalisme dan sosialisme, sebuah pendekatan yang lebih fleksibel dibandingkan dengan garis keras PKI yang langsung tunduk pada arahan Moskow.
Pada 1945, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka muncul sebagai pemimpin alternatif dengan mendirikan Persatuan Perjuangan (PP), yang mengusung garis perjuangan tanpa kompromi terhadap Belanda. Berbeda dengan Soekarno dan Hatta yang bersedia berunding dengan Belanda, Tan Malaka bersikeras bahwa Indonesia harus merdeka sepenuhnya tanpa perundingan yang melemahkan posisi bangsa.
Namun, pendekatan radikal ini membuatnya berseberangan dengan pemerintah resmi Republik Indonesia. Ia sempat dipenjara oleh pemerintahan Soekarno-Hatta pada 1946, dan setelah dibebaskan, ia terus bergerak di bawah tanah hingga akhirnya dieksekusi oleh tentara Indonesia pada 1949.
Kesimpulan: Revolusioner yang Terjebak di Antara Ideologi dan Realitas
Tan Malaka adalah tokoh yang unik dalam sejarah Indonesia. Ia adalah seorang komunis, tetapi tidak mengikuti PKI. Ia adalah seorang nasionalis, tetapi tidak tunduk pada kebijakan Soekarno-Hatta. Ia adalah seorang pemikir, tetapi juga seorang pejuang yang bergerak langsung di medan perang.
Kedekatannya dengan gagasan Trotsky dan kritiknya terhadap pendekatan Komintern menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang berpikir mandiri, tidak sekadar menjadi agen Moskow. Namun, karena pemikirannya yang terlalu maju dan sikapnya yang sering berseberangan dengan kekuatan politik utama, ia akhirnya tersingkir dari panggung sejarah resmi Indonesia.
Meskipun demikian, gagasannya tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi banyak pemikir serta aktivis di kemudian hari. Ia adalah simbol perjuangan tanpa kompromi untuk kemerdekaan sejati, bukan hanya dari penjajah asing, tetapi juga dari dominasi elite yang mengkhianati cita-citarevolusi.