Oleh Denny JA pada hari Jumat, 06 Jun 2025 - 10:35:23 WIB
Bagikan Berita ini :

KISAH NABI IBRAHIM DAN ROCKEFELLER YANG SAYANG ANAK

tscom_news_photo_1749180923.jpeg
(Sumber foto : )

Membaca 38 surat yang ditulis John D. Rockefeller kepada putranya, saya terdiam lama. Sebagai manusia terkaya di zamannya, Rockefeller bisa saja mewariskan istana, tambang minyak, dan saham raksasa.

Namun ia memilih meninggalkan sesuatu yang lebih dalam, lebih hening, dan jauh lebih langgeng: nilai hidup.

Surat-surat itu tak hanya bicara soal etika bisnis. Ia bicara tentang menjadi manusia, menjadi ayah, dan tentang cinta yang berani memilih kebenaran.

Dan di benak saya, surat-surat Rockefeller itu bergema bersama kisah abadi seorang nabi: kisah Nabi Ibrahim.

Suatu malam, di padang tandus Masy’aril Haram, seorang ayah terbangun dari tidur dengan dada yang bergemuruh. Ia bermimpi bahwa Tuhan memintanya untuk menyembelih putranya sendiri—Ismail, (Ishak, versi Kristen).

Ini anak yang lama ia tunggu, darah dagingnya, belahan jiwanya.

Di pagi hari, dengan suara gemetar dan mata yang basah, Ibrahim memanggil putranya dan berkata:

“Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?”

Dan Ismail, dengan kebeningan yang hanya mungkin dimiliki oleh anak seorang nabi, menjawab:

“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kisah itu bukan tragedi. Ia sebuah metafor perayaan spiritual tertinggi. Bahwa dalam cinta kepada anak, ada ruang yang lebih tinggi: ketaatan, prinsip, dan nilai yang tidak bisa dikompromikan.

Setiap Idul Adha, jutaan orang mengenangnya. Tidak untuk menangisi, tetapi untuk merenungkan: bahwa menjadi orang tua kadang berarti harus berani kehilangan kenyamanan demi kebenaran.

-000-

Lebih dari tiga milenium kemudian, di dunia yang jauh berbeda, seorang ayah lain memikirkan anaknya.

Tapi bukan mimpi penyembelihan yang datang kepadanya. Yang ia hadapi adalah ketakutan halus.

kekayaannya justru akan menghancurkan masa depan anaknya, jika ia tak mendidik, membimbing, dan mengingatkan.

Ayah itu adalah John D. Rockefeller, triliuner pertama dunia. Antara tahun 1897 dan 1922, ia menulis 38 surat pribadi kepada putranya, John D. Rockefeller Jr., yang sedang menempuh pendidikan dan hidup jauh dari rumah.

Dalam surat-surat itu, Rockefeller tidak menulis sebagai taipan minyak. Ia menulis sebagai ayah yang mencintai, tetapi tak ingin cinta itu membutakan.

Ia mencintai, namun tetap memilih nilai sebagai kompas utama.

Seperti Ibrahim, Rockefeller juga sayang anak. Tapi mereka berdua tahu: kasih sejati adalah kasih yang membimbing, bukan yang memanjakan.

-000-

Berikut empat surat yang paling menggugah, dan konteks hidup Rockefeller yang melahirkannya:


1. Ketekunan Mengalahkan Segalanya

“Tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa menggantikan ketekunan. Bakat saja tidak cukup. Pendidikan saja tidak cukup. Dunia ini penuh orang berpendidikan yang gagal. Hanya ketekunan dan tekad yang tak akan mengecewakan.”

Surat ini ditulis ketika John Jr. baru memulai pendidikan tinggi. Rockefeller khawatir anaknya akan tenggelam dalam kenyamanan.

Rockefeller sendiri dibesarkan dalam kemiskinan. Ayahnya, William, dikenal sebagai penjual obat palsu dan penipu. Ibunya yang religius mengajarkan hemat dan disiplin. Di usia remaja, Rockefeller sudah mencatat keuangan rumah tangga dengan ketekunan luar biasa.

Dari luka dan kerja keras masa kecil itulah ia menanamkan satu hal pada anaknya: ketekunan akan mengalahkan semua.

⸻

2. Percaya pada Diri Sendiri

“Dari kemiskinan, jalan menuju kemakmuran selalu terbuka. Yang penting adalah kamu percaya bahwa dirimu sendiri adalah modal terbesarmu.”

Rockefeller memulai bisnis tanpa koneksi, tanpa modal besar, hanya dengan kepercayaan penuh pada kemampuannya. Ia bekerja sebagai akuntan di usia 16 tahun di Cleveland. Ia mencatat setiap transaksi, setiap sen, dengan presisi yang nyaris religius.

Surat ini ditulis saat John Jr. mulai ragu mengambil keputusan sendiri. Melalui surat itu, Rockefeller berkata tanpa menggurui: dunia mungkin meremehkanmu, tapi jangan pernah kamu ikut meremehkan dirimu sendiri.

⸻

3. Kejujuran Adalah Strategi Jangka Panjang

“Aku selalu bersikeras untuk berkata jujur. Ganjaran dari kejujuran itu luar biasa.”

Ayah Rockefeller adalah pembohong besar. Dari luka itulah, lahir tekadnya untuk menjadi pribadi yang bertolak belakang: jujur, dapat dipercaya, tertib.

Rockefeller menolak berjudi, tak pernah korup, dan mendokumentasikan keuangannya dengan cermat. Surat ini ditulis ketika John Jr. mulai terlibat dalam urusan keuangan keluarga.

Pesan itu tegas: kejujuran bukan hanya etika moral. Ia adalah pondasi reputasi, bahkan dalam bisnis.

⸻

4. Jangan Menyerah, Maka Kamu Tak Akan Terkalahkan

“Selama kamu tidak menyerah, kamu tidak akan terkalahkan.”

Surat ini lahir dari luka besar yang ia alami dalam krisis keuangan 1857. Rockefeller kehilangan hampir segalanya. Ia juga diburu pemerintah AS yang membongkar Standard Oil.

Namun ia bertahan. Dan lebih dari itu, ia bertransformasi menjadi filantropis: mendirikan Universitas Chicago, menyumbang gereja, mendanai riset medis.

Ia ingin anaknya tahu: dalam hidup, terkadang yang bertahan adalah yang paling bernilai.

-00”-

Ibrahim dan Rockefeller hidup di dunia yang berbeda. Yang satu dipanggil Tuhan lewat mimpi, yang satu menuliskan pesan dengan pena.

Tapi keduanya adalah ayah yang berani memilih nilai di atas kasih sayang sesaat.

Apa yang bisa kita pelajari?

Bahwa cinta pada anak bukan tentang memanjakan, tapi mengarahkan. Bukan memberi dunia, tapi membekali kekuatan batin untuk menghadapinya.

Terkadang, cinta sejati justru membuat kita tega dalam nama kebaikan.

Dan setiap kali gema takbir Idul Adha menyapu langit, mari kita renungkan:

Ada dua bentuk cinta yang agung.
Yang pertama, ayah yang rela kehilangan anak demi Tuhan.

Yang kedua, ayah yang rela kehilangan kenyamanan anak demi nilai.

Keduanya adalah cinta yang berani memilih kebenaran.

-000-

Referensi:
The 38 Letters from J.D. Rockefeller to His Son: Perspectives, Ideology, and Wisdom
oleh G. Ng

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Profil

Hariman Siregar: Jejak Perjuangan dan Dedikasi untuk Demokrasi Indonesia.

Oleh Ariady Achmad dan Team teropongsenayan.com
pada hari Senin, 24 Mar 2025
Hariman Siregar adalah salah satu tokoh mahasiswa legendaris di Indonesia yang namanya tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974. Sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ...
Profil

Perjuangan Tan Malaka: Dari Soviet, Vietnam, hingga Indonesia

Tan Malaka adalah sosok revolusioner yang tidak hanya bergerak di medan perang fisik, tetapi juga di ranah pemikiran dan strategi politik. Setelah bertahun-tahun berkelana di luar negeri, termasuk di ...