SIAPAKAH tokoh politik Indonesia yang menancapkan tonggak besar dalam proses pematangan demokrasi pasca Reformasi 1998? Jawabannya jelas: Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Tonggak itu adalah pelaksanaan Pemilu Presiden secara langsung pada 2004, yang ditetapkan di masa presidensinya (2001-04). Sebelum Reformasi, presiden dipilih oleh MPR, yang membuka ruang besar bagi politik transaksional.
Sebagai presiden, dan pemimpin partai terbesar yang meraih 34 persen suara rakyat (dalam pemilu 1999), Megawati dengan mudah bisa melanjutkan saja tradisi pemilihan presiden oleh MPR tersebut. Tentu banyak pula orang-orang dekatnya yang mendukung hal ini; suatu sistem yang memang tidak tegas diatur oleh UUD 1945, dan pernah membuat Presiden Suharto terpilih tujuh kali.
Tetapi Megawati menutup kuping terhadap usul, bujukan dan rayuan orang-orang itu, dan membuka telinga batinnya terhadap denyut terdalam hati rakyat Indonesia. Ia mendukung gagasan pemilihan langsung, demi menyempurnakan hak konstitusional dan demokratis kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka tanpa diwakili oleh siapapun.
Setelah itu ia bukan hanya dari kejauhan menjaga independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi bahkan mendatangi sendiri kantor KPU untuk memastikan kesiapan para komisionernya dalam menjalankan tugas untuk memberikan yang terbaik kepada rakyat pemilih.
Pak Jusuf Kalla dan Pak Mahfud MD dengan kagum dan penuh hormat bersaksi bahwa Megawati mendatangi kantor KPU dan menjamin bahwa semua keperluan yang mereka butuhkan untuk penyelenggaraan pemilu sebaik-baiknya pasti disediakan oleh pemerintahnya.
Ia sama sekali tak mencampuri proses pemilu meskipun ia mencalonkan diri kembali sebagai presiden pada 2004. Hasil pemilu langsung yang ia mulai itu pahit bagi dirinya. Ia kalah dari bekas menterinya, Susilo Bambang Yudhoyono.
Tapi ia meraih kemenangan historis yang jauh lebih besar, yaitu: seorang presiden yang memberi teladan nyata tentang cara terhormat dalam menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi dalam pemilu, justeru ketika ia — sebagai presiden di era transisi demokrasi — dengan mudah mampu memanipulasi proses dan prosedur elektoral itu.
Dalam obrolan kecil di kediamannya setelah ia kalah, suaminya, Alm. Pak Taufiq Kiemas, merujuk tawaran seorang pensiunan jenderal untuk “mengolah” perangkat IT KPU agar bisa memenangkan Megawati dengan gampang.
Tawaran itu ia tolak dengan tegas. Saya melihat jenderal yang hadir dalam obrolan itu terdiam —antara kecewa dan kagum terhadap keteguhan sikap Megawati dalam berkompetisi secara fair.
***
Reformasi tersebut menandai langkah besar dalam demokrasi Indonesia, yang bergema di seluruh dunia, sekaligus mematahkan anggapan umum di kalangan pengamat internasional bahwa sebuah negeri Muslim tidak mungkin mampu berdemokrasi — sebagaimana terlihat nyata pada 50 anggota lain Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Majalah berita paling terpandang di seluruh dunia, The Economist, memberi judul sampul: “Indonesia’s Shining Example” — sebab memang baru kali itu sebuah negeri Muslim melakukan langkah yang begitu besar dalam ikhtiar demokrasi. Indonesia dipandang telah menyajikan teladan gemilang bagi seluruh negeri Muslim dan dunia.
Dengan reformasi itu pula dominasi elite politik dalam proses pemilihan presiden diakhiri, setelah selama empat dekade sebelumnya integritas pemilu selalu tercemar. Presiden ke-5 Megawati memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem pemilu Indonesia.
***
Ia selalu konsisten dalam menjaga konstitusi negara, sejak pertama kali mencebur ke gelanggang formal politik (1983). Menjelang pemilu 2024, ia praktis seorang diri melindungi integritas Konstitusi, ketika muncul upaya yang jelas dan sistematis untuk mengubah aturan, sehingga memungkinkan seorang presiden dipilih tiga kali.
Setelah ambisi tiga periode gagal mencairkan kekukuhan sikap Megawati, upaya melanggengkan kekuasaan itu ditawar menjadi “sekadar” perpanjangan masa jabatan, dengan dalih masa kekuasaan Presiden Joko Widodo 2019-2024, seorang kader PDI Perjuangan dari Solo, banyak terganggu dan terhalang oleh “masa vakum” akibat pandemi Covid.
Megawati bergeming, dan tak henti menegaskan mantranya: Hormati Konstitusi, Hormati Konstitusi, Hormati Konstitusi. Tambahannya: Jangan ciderai Demokrasi, Setialah pada prinsip Reformasi.
Tiada suara lain di kalangan elite politik yang berupaya membendung upaya perkosaan terhadap Konstitusi tersebut. Semuanya, dengan Megawati sebagai satu-satunya perkecualian (ditambah satu-dua suara skeptis yang lamat-lamat dari kubu Presiden Jokowi sendiri), cenderung setuju belaka atau setidaknya manut saja terhadap ambisi yang melampaui batas itu.
Bagi mereka, jika proyek tiga periode sukses, mereka pasti ikut diuntungkan. Jokowi dipastikan akan menang mudah sebagai presiden ketiga kali, dan koalisinya tentu dipertahankan atau malah diperluas.
Jika proyek perpanjangan kekuasaan yang terjadi, maka mereka semua akan ikut berkuasa, bahkan kali ini kekuasaan itu didapat dengan gratis, tanpa perlu repot berkampanye, keluar banyak uang, dan sebagainya.
Pragmatisme yang berciri “everybody’s happy” ini mudah dimengerti. Maka bagi para politisi lebih menguntungkan untuk diam saja daripada “salah ngomong”.
Tetapi ada satu masalah bagi mereka: di tengah mereka semua, Megawati berdiri setegap-tegapnya sambil berkacak pinggang, membuat semua skenario itu batal sebelum dicoba.
Ia lebih memilih disebut “politisi naif” atau pemimpin keras kepala daripada mengkhianati nuraninya. Ia yakin “kenaifan” dan “kekeraskepalaan”nya diperlukan untuk menjaga hal yang paling berharga dalam bernegara: integritas Konstitusi.
Untuk itu ia rela berjalan di jalur yang jarang ditapaki orang lain. Ia melangkah di jalan yang, menurut penyair Amerika Robert Frost, “the road less travelled”. Dan semuanya ia lakukan dengan sikap yang terang benderang.
Ia tak pernah berjalan di kegelapan. Ia seakan kembali mengikuti saran Frost: jangan pernah kau berdiri di kegelapan, sebab dalam gelap bayanganmu pun meninggalkanmu.
***
Melalui berbagai prestasi konstitusional dan demokratis, Megawati Soekarnoputri telah memberikan warisan penting bagi bangsa ini.
Semangatnya yang tak pernah pudar untuk menjaga Konstitusi dengan sepenuh komitmen, melindungi hak-hak rakyat, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan, adalah pelajaran penting bagi para pemimpin hari ini, juga pasti untuk generasi-generasi pemimpin selanjutnya.
Teladannya merupakan pengingat abadi bagi mereka semua.
Hari ini, 23 Januari 2025, ia genap berusia 78 tahun. Tapi ia jauh lebih belia dibanding kebanyakan politisi muda yang kemudaannya tak menjamin hasrat dan semangat mereka untuk memastikan bahwa martabat bangsa wajib terus dijaga, melampaui kepentingan-kepentingan personal dangkal dan temporal.
Selamat ulang tahun, Ibunda Indonesia. Age is only number, kata orang. It’s a matter of mind, and if don’t mind it doesn’t matter. Bagi kamiIbubaru28.***