Oleh Sahlan Ake pada hari Rabu, 05 Mar 2025 - 19:41:25 WIB
Bagikan Berita ini :

Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

tscom_news_photo_1741178485.jpg
Lestari Moerdijat (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Patriotisme perempuan harus mampu dibangkitkan agar mampu mendorong semangat bersama untuk memperjuangkan hak-haknya dalam mengisi kemerdekaan.

"Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Karena perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025 - Patriotisme Perempuan: Dulu, Kini, dan Nanti, yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia bersama Forum Diskusi Denpasar 12 dan Keluarga Besar Wirawati Catur Panca, di ruang Delegasi, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).

Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Pia Feriasti Megananda, BA (Ketua Umum Wirawati Catur Panca), Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.M. (Ketua Dewan Pers), dan Nicky Clara (Social Entrepreneur) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Irine Hiraswari Gayatri, Ph.D (Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) sebagai penanggap.

Lestari menegaskan, perempuan di Nusantara sejak dahulu adalah perempuan yang tangguh.

Di Aceh, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pada masa lalu bahkan dipimpin para sultana dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya.

Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mengungkapkan, pada abad ke-16 juga ada pejuang perempuan bernama Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerapkan konsep poros maritim di Nusantara untuk menggalang aliansi dalam melawan Portugis.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan ini dapat membangkitkan semangat para perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan "pekerjaan rumah" yang belum selesai dalam proses pembangunan.

Pada sambutan tertulisnya, Ketua Umum Wirawati Catur Panca, Pia Feriasti Megananda mengungkapkan, acara diskusi tentang patriotisme perempuan yang diselenggarakan di gedung MPR RI ini merupakan simbol perjuangan bangsa, yang juga melibatkan perempuan.

Menurut Pia, peran perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa berkelanjutan sejak masa lalu, masa kini, hingga masa datang.

Di masa lalu, ujar Pia, pejuang perempuan memiliki patriotisme yang tinggi. Selain memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pejuang perempuan juga memperjuangkan hak-hak mereka.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengungkapkan keterlibatan aktif perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan di sejumlah bidang memang sudah terjadi sejak dahulu.

Namun, tambah dia, di era saat ini, pada sejumlah kasus, perempuan tidak dipandang sama dengan laki-laki.

Diakui Ninik, dalam konteks penerapan kesetaraan gender saat ini ada kemajuan. Namun, tambah dia, di beberapa sektor terjadi stagnasi, bahkan kemunduran dalam pelaksanaan kesetaraan gender.

Penerapan aturan yang berbeda berdasarkan suku, ras, dan agama, ujar Ninik, menyebabkan stagnasi penerapan kesetaraan gender di sejumlah sektor.

Sejumlah regulasi, ungkap Ninik, mendorong terjadinya diskriminasi yang memicu terjadinya tindak kekerasan dan sejumlah hal yang merugikan perempuan.

Sehingga, ujar dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dalam hal penerapan kesetaraan gender di tanah air.

Social Entrepreneur Nicky Clara mengungkapkan terlahir sebagai perempuan disabilitas menghadapi tantangan yang berlapis-lapis.

Stigma terkait perempuan dan disabilitas sangat kuat. Bahkan di sejumlah daerah, perempuan dengan disabilitas sampai dikurung.

Menurut Nicky, bila tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengembangan ekonomi, negara akan kehilangan. Tetapi, tambah dia, faktanya hanya kurang dari 30% perempuan yang melek keuangan.

Karena itu, ujar Nicky, upaya pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi merupakan langkah yang penting.

Peneliti BRIN, Irine Hiraswari Gayatri berpendapat, gerakan perempuan itu berkembang sesuai zamannya, tetapi ada yang konsisten dalam setiap perjuangan itu yaitu militansi.

Diakui Irine, keberhasilan gerakan perempuan seringkali bergantung pada faktor lokal dan global. Selain itu, tambah dia, juga menghadapi tantangan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi.

Menurut dia, sejumlah langkah afirmasi di bidang politik itu sejatinya upaya untuk mengakselerasi keterwakilan perempuan di parlemen.

Namun, disayangkan upaya itu tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan.

Pada kesempatan itu, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, saat ini di Kabinet Merah Putih terdapat 5 menteri perempuan dan 9 wakil menteri perempuan.

Kondisi itu, sesuatu yang belum pernah terjadi. Bila itu berhasil, di masa depan kita akan punya 9 menteri perempuan.

Tetapi, ujar Saur, ada juga bidang-bidang yang tidak pernah dijabat oleh perempuan, sekarang dijabat perempuan, seperti Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Wakil Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi. "Bila angle itu yang dipakai saya tidak melihat ada regresi," ujar Saur.

Saur khawatir, label yang dibuat terhadap perempuan dan laki-laki itu memperkuat diskriminasi.

Sebagai contoh, tambah Saur, kata bangsawan tidak ada bangsawati, negarawan tidak ada negarawati, rupawan tidak ada rupawati.

"Mengapa sampai ke kita ada kata taruna dan taruni? Taruna itu berasal bahasa Pali rumpun Indo Arya yang artinya muda," ujarnya.

Jadi, tegas Saur, justru penciptaan bahasa itulah yang menyebabkan penguatan diskriminasi. Menurut Saur, kondisi tersebut harus dikoreksi melalui alam pikiran dalam berbahasa.

tag: #mpr  #lestari-moerdijat  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement