Jakarta, Juli 2025 — Dua indikator alarm ketenagakerjaan Indonesia menyala bersamaan: jumlah sarjana menganggur melonjak, sementara gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menggulung ribuan pekerja formal. Dalam situasi ini, pertanyaan utama yang patut diajukan bukan lagi sekadar apa yang terjadi, melainkan ke mana arah kita akan dibawa?
ð Sarjana: Pendidikan Tinggi, Nasib Merendah
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan survei Bank Indonesia menyebutkan bahwa tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi melonjak menjadi 13,89% per Februari 2025—setara dengan lebih dari satu juta sarjana yang belum terserap ke dunia kerja. Banyak dari mereka yang akhirnya harus menerima pekerjaan jauh di luar kompetensinya: menjadi kurir, petugas PPSU, bahkan asisten rumah tangga.
Situasi ini mencerminkan adanya krisis struktural dalam sistem pendidikan dan dunia kerja. Pendidikan tinggi seolah kehilangan nilai tukar dalam pasar ekonomi. Gelar akademik tidak otomatis berarti keterampilan relevan di mata industri.
â ï¸ Buruh Formal: Diberhentikan Tanpa Daya
Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 26.000 pekerja terkena PHK hanya dalam empat bulan pertama 2025. Bahkan, aduan ke Komnas HAM menunjukkan angka 8.786 kasus pelanggaran hak tenaga kerja dalam proses PHK—mulai dari penghilangan pesangon hingga PHK sepihak tanpa surat peringatan.
Kondisi ini semakin pelik mengingat belum tampaknya korelasi kuat antara pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru yang layak. Beberapa sektor padat karya seperti manufaktur dan tekstil bahkan justru mengalami kontraksi akibat melemahnya permintaan global dan efisiensi produksi pasca-pandemi.
ðï¸ Tanggapan Pemerintah: Bergerak, Tapi Belum Cukup
Respon pemerintah terlihat dari pembentukan Satgas PHK, perluasan Bantuan Subsidi Upah (BSU), serta imbauan kepada industri untuk menyerap tenaga kerja. Presiden dan kementerian terkait juga menjanjikan penciptaan ekosistem ketenagakerjaan berbasis kewirausahaan dan pelatihan vokasi.
Namun hingga kini, kebijakan yang muncul masih bersifat penanggulangan, belum menyentuh akar masalah. Kurikulum perguruan tinggi belum sepenuhnya dikalibrasi ulang untuk selaras dengan kebutuhan industri 4.0. Reformasi pasar tenaga kerja juga belum menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas bagi perusahaan dan kepastian bagi pekerja.
ð§ Krisis yang Bisa Menjadi Titik Balik
Kondisi ini bukan semata bencana sosial, tetapi undangan terbuka untuk perubahan sistemik. Indonesia berada pada titik yang memerlukan reformasi menyeluruh: dari pendidikan, kebijakan industri, hingga hukum ketenagakerjaan.
Beberapa jalan keluar yang mesti segera dijajaki:
1. Sinkronisasi kurikulum pendidikan tinggi dengan industri, termasuk pembentukan link and match yang nyata.
2. Perlindungan hak pekerja berbasis keadilan sosial, agar PHK tidak jadi instrumen penghisapan ekonomi.
3. Reformasi sistem rekrutmen PNS dan BUMN, agar tidak mengandalkan jaringan politik tapi kapabilitas.
4. Dorongan kewirausahaan produktif yang tidak sekadar menjual mimpi, tetapi disertai dukungan pelatihan, akses pasar, dan pendanaan.
5. Peta jalan industri nasional untuk membuka ruang kerja baru—khususnya di sektor teknologi hijau, ekonomi digital, dan pertanian modern.
ð£ Publik Harus Bersikap
Jika pendidikan tinggi hanya mencetak pengangguran intelektual, dan industri hanya menjadikan pekerja sebagai angka yang bisa diberhentikan sewaktu-waktu, maka Indonesia sedang melaju ke arah ketimpangan struktural yang kronis. Di titik ini, publik tidak boleh pasif.
Parlemen, serikat pekerja, kampus, dan media harus mendorong perubahan bukan hanya dalam bentuk kebijakan darurat, tetapi dalam bentuk visi jangka panjang untuk kedaulatan kerja dan kemuliaan manusia.
“Indonesia tidak kekurangan gelar, tapi kekurangan keberanian untuk mengubah sistem. Jalan baru harus dibuka, sebelum generasi ini kehilangan arah.”
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #