JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 telah memantik polemik nasional ditandai perdebatan keras sebulan terakhir ini. Itu terjadi karena tak sedikit pihak salah kaprah menilai seolah-olah tiap putusan MK itu adalah final dan mengikat secara absolut, tak soal isinya bagaimana sehingga pembentuk UU yaitu DPR dan Presiden menurutnya wajib melaksanakan Putusan MK tersebut.
Disisi lain banyak pihak menilai isi Putusan MK tersebut “telak -telak” menyalahi konstitusi, lalu apakah negara ini melalui DPR bersama Presiden selaku pembentuk UU harus mengikuti keinginan MK dengan penyimpangan konstitusional yang dilakukannya dalam Putusan MK tersebut ? Bahkan ada juga pihak yang memprediksi polemik ini akan ditandai “deadlock constitution”, hingga pihak yang memunculkan ide solusi “amandemen ke lima UUD 1945.”
Menanggapi dinamika polemik keras itu, Ir. Ali Wongso Sinaga, Ketua Umum SOKSI, kader senior binaan Prof.Dr.Suhardiman Ketum Pertama SOKSI tahun 1960-2000 dan pendiri Partai Golkar tahun 1964 itu memberi penegasan kembali dan tambahan terhadap pernyataannya pertama pada Senin (07/07) yang lalu, terkait kontroversi Putusan MK No. 135/2024 tersebut.
Menurutnya,sekarang pertanyaan intinya perlu dikerucutkan : apakah UUD 1945 sebagai konstitusi adalah hukum tertinggi yang berlaku penuh di negara ini? Tentu pasti ya. Lalu, adakah lembaga di negara ini yang dapat dibenarkan untuk menyalahi atau melanggar UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara? Sesuai prinsip konstitusionalisme, tidak boleh ada, termasuk oleh MK! Lalu dalam sistem ketatanegaraan, bisakah kedaulatan rakyat dirusak oleh tafsir atau tindakan MK dengan melampaui batas wewenang konstitusionalnya yang sudah jelas diatur oleh UUD 1945? Jawabnya seribu % MK atau siapapun tidak bisa!.
Kemudian, adakah yang bisa membantah fakta penyimpangan konstitusional didalam isi Putusan MK No. 135/2024 khususnya terhadap pasal 24 C dan Pasal 20 UUD 1945 ? Jawabnya, tidak ada yang bisa membantahnya!.
Menjawab pertanyaan pers, bagaimana jika MK dan pihak lainnya membantah, Ali Wongso menjawab siap menjelaskan asal mereka rasional kritis dalam koridor konstitusionalisme berbasis UUD 1945, tegas mantan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu.
Menurutnya polemik Putusan MK No 135/2024 ini sebaiknya diakhiri saja segera tanpa deadlock constitution dan amandemen kelima konstitusi atau issu lainnya yang tak perlu, sekaligus mengantisipasi perlunya waktu cukup bagi pembentuk UU dan ruang partisipasi, artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat diproses perubahan UU Pemilu dan Pilkada hingga selesai baik dan diundangkan kelak tidak mepet dengan Pemilu dan Pilkada 2029 kelak.
Menurut Ali Wongso untuk mengakhiri polemik tersebut terletak ditangan pemegang kekuasaan pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden wajib mengambil sikap bijaksana dengan menegaskan memilih “jalan konstitusional demi negara” yaitu :
"Pembentuk UU tidak mungkin bisa mengikuti penyimpangan konstitusional UUD 1945 didalam Putusan MK No. 135/2024," tegas mantan anggota Pansus/Panja/Tim Perumus UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua UU MK No.24 Tahun 2003 itu kepada pers, Jumat (25/07) di Jakarta.
Anggota BALEG DPR 2009-2014 itu meyakini MK akan menerima “jalan konstitusional demi negara” demikian itu,sebab sudah saatnya MK berada kembali di era jalan konstitusional demi negara. Sembilan hakim MK yang mulia itu pasti menguasai seluruh isi konstitusi UUD 1945 termasuk Pasal 1 ayat (2) bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, dimana UUD dimaksud itu bukanlah menurut tafsir MK sendiri secara tunggal dan absolut. MK tidak boleh berada diatas konstitusi dan tidak menjadi potensi ancaman terhadap prinsip checks and balances dalam sistem presidensial.
"Sembilan hakim konstitusi yang mulia juga kita percaya memahami Pasal 24 C ayat (5) yang mengamanatkan bagaimana jatidiri seorang hakim konstitusi dan logis para yang mulia itu ingin jatidirinya dinilai memenuhi Pasal 24 C ayat (5) itu," ujarnya.
Lebih lanjut menjawab pertanyaan wartawan yang lebih detail tentang fondasi dari “jalan konstitusional demi negara” itu bagi pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden sehingga perlu mengambil sikap tegas demikian, politisi senior mantan Ketua DPP Partai Golkar tiga periode itu menyatakan paling kurang, ada dua substansi rasional, yaitu :
Pertama, Putusan MK No. 135/2024 menunjukkan MK sebagai Negative Legislator tapi faktanya telah melakukan tugas Positive Legislator yang menyalahi UUD 1945 khususnya Pasal 24 C dan Pasal 20.
MK sebagai penjaga konstitusi (guardian of the constitution) seharusnya menjaga kemurnian UUD 1945 secara utuh. Pasal 24C terdiri dari enam ayat yang tak bisa dipisahkan tapi bisa dibedakan. Pasal 24C ayat (5) mengatur para hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,adil, negarawan,dan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Tidak bisa lepas dari ayat (1) yang mengatur MK sebagai Negative Legislator karena kewenangannya dalam konteks UU hanya menguji UU terhadap UUD 1945, bukan membuat norma UU termasuk tafsir yang mengarahkan ke suatu norma baru UU (Positive Legislator).
Dalam uji materil UU,maka MK berwewenang menafsirkan apakah norma UU yang diuji itu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 ? Jika MK memutuskan bertentangan maka norma UU yang diuji itu tidak lagi bekekuatan hukum dan putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
Tetapi MK tidak berwewenang membuat norma baru mengganti norma UU yang diputuskan tidak lagi berkekuatan hukum itu, meski berdalih mengisi sementara kekosongan hukum sambil menunggu perubahan UU oleh pembuat UU. Itu tidak bisa karena norma baru pengganti itu adalah kewenangan pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden sesuai Pasal 20 UUD 1945 melalui mekanisme pembuatan UU berdasarkan UU yang berlaku.
Dalam teori Hans Kelsen dan praktik negara-negara konstitusional modern, MK adalah negative legislator, yakni pembatal norma, bukan pembuat norma. MK yang sudah negative legislator tidak dibenarkan menjadi sekaligus positive legislator sebab merusak sistem ketatanegaraan yang berdasar pemisahan kekuasaan (separation of power).
Jika suatu Putusan MK sampai tercederai dengan memuat norma baru oleh MK yang melakukan positive legislator maka konsekuensi logis Putusan MK itu hanya final secara prosedural yudisial saja karena tidak boleh mengalahkan supremasi konstitusi sehingga tidak final dan mengikat secara normatif atau legislatif untuk diikuti oleh pembentuk UU.
Selama ini banyak pihak kurang paham dengan menilai dan mengikuti setiap Putusan MK seolah-olah semuanya final dan mengikat secara absolut, paparnya.
Untuk itu politisi yang pernah kuliah di FS Filsafat UI Rawamangun tahun 1980-an itu memberi analogi dengan membayangkan MK sebagai wasit pertandingan bola. Wasit boleh membatalkan gol tidak sah (negative legislator), tapi tidak boleh wasit ikut mencetak gol atau mengubah peraturan pertandingan (positive legislator).
Jika wasit tiba-tiba melampaui tugasnya atau melanggar aturan dengan ikut mencetak gol, maka semua pemain tentu tetap menghormatinya sebagai wasit (final), tetapi tidak akan mengakui golnya Wasit itu sah menurut aturan pertandingan (tidak mengikat secara normatif).
Diskusi seperti inilah dahulu melatarbelakangi lahirnya Pasal 57 ayat (2a) melalui proses diskusi panjang di pansus/panja perubahan pertama UU MK Tahun 2011 yang menegaskan larangan keras bagi MK cawe-cawe positive legislator,hingga Pasal 57 ayat (2a) menyatakan :
“MK tidak diperbolehkan merumuskan norma baru sebagai pengganti materi muatan undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.”
Sembilan tahun kemudian ketentuan Pasal 57 ayat (2a) ini dihapus pada perubahan kedua UU MK tahun 2020 tanpa alasan akademis dan kajian yang belum diketahui kejelasannya. Tapi MK tentu tidak boleh memandang penghapusan itu otomatis melegitimasi MK dapat membuat norma baru UU. Sebab pada tahun 2021, MK malah menetapkan Pasal 73 dalam Peraturan MK No. 2/2021 yang justru membuka celah yuridis membuat norma baru dalam uji materil UU. Dan sesudah itu, beberapa Putusan MK keluar dengan memuat norma baru UU.
Dengan jalan konstitusional demi negara itu maka MK kedepan adalah konsisten negatif legislator berdasarkan UUD 1945.
Kedua, Berangkat dari Putusan MK No.135/2024 yang final secara prosedural yudisial dan tidak final dan mengikat secara normatif atau legislatif, namun apabila dalam putusan MK itu secara obyektif mengandung materi gagasan baik bagi negara maka perlu diperhatikan oleh pembentuk UU dan publik sebagai masukan melalui open legal policy.
Terhadap gagasan eksperimen pola kontestasi politik dua siklus pemilu nasional dan pemilu daerah dibuat terpisah 2-2,5 tahun yang terkandung dalam Putusan MK tersebut, menurut kajian SOKSI paling tidak terdapat lima catatan penting.
Catatan pertama, gagasan pola kepemiluan dua siklus itu lemah korelasi dan urgensinya jika dihadapkan dengan upaya memecahkan masalah utama kepemiluan khususnya dalam pileg dan pilkada yang sarat masalah anarkhi politik uang, bansos selain integritas oknum para penyelenggara serta besarnya beban kerja petugas. Padahal perubahan UU tujuannya untuk memecahkan masalah kepemiluan, minimal dapat menguranginya signifikan kedepan.
Catatan kedua, gagasan pola kepemiluan dua siklus itu inkonsisten terhadap Putusan-Putusan MK sebelumnya yaitu No. 14/PUU-XI/2013 dan No. 55/PUU-XVII/2019, dimana MK menyatakan bahwa pemilu harus diselenggarakan serentak dalam satu waktu untuk menjaga kesetaraan dan keadilan elektoral selain penguatan sistem presidensial dan efektifitas pemerintahan nasional.
Catatan ketiga, gagasan pola kepemiluan dua siklus itu jika digunakan juga akan berakibat menyalahi atau melanggar UUD 1945 pada Pasal 22E ayat (1): Pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat (2): Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil presiden dan DPRD.
Catatan keempat, gagasan pola kepemiluan dua siklus itu dalam konteks Pilkada, telah naif menafsirkan Pasal 18 ayat (4) : “Gubernur, Bupati,dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Demokratis tidak dapat ditafsirkan naif dengan harus pemilu langsung sebagaimana terhadap pemilihan DPRD pada Pasal 18 ayat (3) tetapi seharusnya diberikan ruang artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat melalui “open legal policy” kepada pembentuk UU berorientasi memecahkan masalah besar Pilkada selama ini terutama masalah politik uang dan isu konflik horizontal. Untuk itu diperlukan kajian akademis secara rasional kritis dan menyeluruh tentang opsi Pilkada melalui DPRD atau Langsung.
Catatan kelima, gagasan pola kepemiluan dua siklus itu merupakan eksperimen pola kontestasi politik nasional dan daerah cenderung berpotensi kontraproduktif. Sebab pada waktu panjang dengan juga mengantisipasi dinamika proxy global yang ditandai betapa kuatnya kepentingan asing terhadap Indonesia, akan berpotensi mendorong daerah merasa punya legitimasi politik yang terpisah dari pusat terutama di daerah tertentu yang beresiko.
Program-program prioritas nasional berpotensi dikacaukan oleh konflik politik lokal dan lama kelamaan bisa menimbulkan mental “quasi-federalisme”, yang dapat berkembang kepotensi yang membahayakan keutuhan NKRI dimasa mendatang.
Sebelum mengakhiri wawancara pers,Politisi senior Partai Golkar gemblengan langsung Pof. Dr.Suhardiman Pendiri SOKSI dan Golkar itu percaya kepada pembentuk UU yaitu DPR bersama Presiden akan merubah UU Pemilu dan Pilkada serta UU terkait lainnya, dengan mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan seluruh masyarakat serta berorientasi memecahkan masalah-masalah kepemiluan secara optimal dan aplikabel kedepan.
Selain itu, mantan anggota Pansus UU MK Tahun 2011 itu berharap DPR bersama Presiden mendorong aktualisasi peran MK kedepan dengan menginisiasi perubahan keempat UU MK yang menguatkan sistem pencegahan penyimpangan konstitusi seiring perlunya penajaman pola dan mekanisme rekrutmen para hakim konstitusi ber- jatidiri sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, termasuk juga mengembalikan Pasal 57 ayat (2a) UU No. 8 Tahun 2011.
Simultan dengan itu MK sendiri diharapkan proaktif menjaga marwah kemuliaannya dengan terpanggil mengkoreksi Pasal 73 PMK No.2/2021 yang “memberi ruang bagi dirinya sendiri menjadi pembuat norma baru UU”, sebelum ada permohonan judicial review PMK dari kalangan masyarakat kepada Mahkamah Agung. Indonesia membutuhkan Mahkamah Konstitusi yang mulia karena integritas dan kapasitas kenegarawanannya menampakkan dirinya kuat, efektif dan konsisten menjaga kemurnian konstitusi dihadapan rakyat.
Menanggapi pertanyaan tentang konstitusi UUD 1945 pasca empat kali amandemen yang berlaku sekarang yang seringkali dijuluki publik sebagai UUD 2002, penerus perjuangan Suhardiman Pendiri SOKSI sekaligus perjuangan Achmad Yani Pendiri Utama SOKSI itu, menyatakan memahami permasalahan itu dan untuk itu pada waktunya diperlukan suatu bangunan konsensus nasional.
SOKSI sendiri sudah membahasnya dan Rekomendasi Munas XI SOKSI di Pekanbaru tahun 2022 lalu, mendukung perlunya evaluasi secara rasional kritis menyeluruh terhadap UUD 1945 pasca empat kali amandemen ini pada momentum yang tepat kelak, dan salahsatu solusi alternatif yang SOKSI rekomendasikan adalah “Kembali ke UUD 1945 Asli” dengan Addendum bertahap sesuai skala kepentingan nasional secara melekat ataupun secara tersendiri guna menyesuaikan perkembangan dan antisipasi tantangan bangsa di masa depan," paparnya.
Namun prinsipnya terlepas dari masalah evaluasi konstitusi itu apakah ada dan kapan kelaknya, SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) berkomitmen mendukung total keberhasilan kepemimpinan nasional Presiden Prabowo membawa Indonesia secara bertahap dan optimum menuju Indonesia Emas 2045 atau menurut istilah Pak Suhardiman “Indonesia Raya Ke 3”, selaras Pembukaan UUD 1945," tutup Insinyur Sipil ISTN Jakarta itu.