JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Awalnya Tati Suryati, warga Tangerang Selatan, Banten merasa jengkel. Setiap akhir pekan dia harus keliling kota, mencari BBM dengan RON yang sesuai spesifikasi mesinnya.
Celakanya, ia selalu sulit menemukan jenis V-Power Nitro+ RON 98 di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik swasta.
Tati saat itu mendapat informasi bahwa semua bermula dari kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menetapkan tata kelola Bahan Bakar Minyak (BBM) swasta diubah dengan dua arah kebijakan utama pemerintah.
Kementerian ESDM menetapkan dua arah kebijakan utama pemerintah terkait kuota BBM untuk SPBU swasta.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengatakan bahwa pemerintah saat ini telah menetapkan dua arah kebijakan utama terkait pasokan BBM swasta.
Pertama, hingga akhir tahun ini badan usaha swasta penyedia BBM masih didorong untuk memenuhi sebagian kebutuhan BBM-nya melalui pembelian dari Pertamina.
Kedua, untuk kuota BBM SPBU swasta pada tahun depan masih akan dilakukan evaluasi terlebih dahulu.
"Jadi, sebenarnya garis besarnya itu ada dua. Yang pertama sesuai dengan arahan menteri ESDM dan RDP (Rapat Dengar Pendapat) DPR, kita untuk tahun 2025 tetap melanjutkan kolaborasi antara swasta dan Pertamina. Untuk tahun 2026, kami akan menghitung kembali pengaturannya seperti apa," kata Laode di Kementerian Investasi dan Hilirisasi/ BKPM, Jakarta, Selasa (7/9/2025).
Menurut dia, beberapa perusahaan seperti AKR, BP-AKR dan VIVO disebut telah melanjutkan proses negosiasi dengan Pertamina. Sedangkan untuk Shell sendiri belum melanjutkan skema kerja sama seperti badan usaha swasta lainnya.
"Mereka (Shell) membutuhkan konsiderans yang berbeda dengan yang lain, tapi tetap Pertamina masih mempertimbangkan," ujarnya.
Tak bisa terima alasan sepihak dari pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM sebagai pengampu negara masalah BBM, Tati lalu menggugat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menteri Bahlil digugat bersama PT Pertamina dan PT Shell Indonesia. Dengan nomor perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.
Gugatan ini mempersoalkan kelangkaan BBM beroktan tertentu di SPBU swasta yang menjadi langka. Stok V-Power dan BBM sejenis sering habis akibat SPBU seperti Shell dan BP menolak membeli base fuel Pertamina yang mengandung 3,5 persen etanol.
Alasannya, kualitas dianggap tidak memenuhi standar kualitas investor di sektor hilir BBM tersebut.
"Ini bukan hanya soal Rp500 Juta ganti rugi atas biaya tambahan dan stres harian karena saya tidak mendapatkan BBM sesuai standar mobil saya," kata Tati.
Penggugat dalam hal ini Tati mempersoalkan yang utama adalah adanya pelanggaran hak konsumen yang dijamin undang-undang.
Tati juga mengaku siap mencabut gugatan jika pasokan di SPBU swasta normal kembali
Sementara itu, saat kondisi pasokan masih genting, Kementerian ESDM menjanjikan ketersediaan penuh akhir Oktober dengan penyesuaian kualitas base fuel.
Ancaman kekosongan stok hingga akhir tahun bagi Shell, Vivo, dan BP-AKR, memicu kekhawatiran ekspansi SPBU swasta terhambat.
Sidang perdana pada 8 Oktober 2025 dipimpin Majelis Hakim Ni Kadek Susantiani ditunda hingga 15 Oktober karena dokumen tak lengkap. Selain itu perwakilan Shell juga tak hadir. Selain penggugat, tim dari Kementerian ESDM juga hadir.
"Kami hormati proses hukum sepenuhnya. Komitmen kami adalah mempercepat normalisasi distribusi agar tak ada lagi warga yang kecewa," kata tim Kementerian ESDM.
Pandangan Pakar Hukum
Pakar hukum Prof. Dr. Henry Indraguna, SH., MH., menawarkan sudut pandang berbeda. Prof Henry menilai gugatan itu sah sebagai alat akuntabilitas pemerintah pada rakyat.
"Hebatnya sikap Menteri Bahlil yang menghormati peradilan patut diapresiasi sebagai langkah matang demokrasi. Pak Bahlil sebagai warga negara yang taat hukum mempersilakan individu untuk melakukan protes, kritikan, bahkan gugatan sekalipun. Karena Republik adalah negara yang menjunjung supremasi hukum maka sebagai pejabat negara, beliau pun menghormati kebijakan yang diambil akan diuji dalam ranah hukum," ujar Prof Henry kepada suarakarya.id di Jakarta, Jum"at (10/10/2025).
Dari pandangan Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini bahwa akar masalah pasokan BBM untuk swasta ada pada tata kelola sistem distribusi yang dianggap sering mengorbankan keseimbangan efisiensi negara dengan hak konsumen.
Dia lalu merujuk pandangan Aristoteles dalam politik bahwa keadilan bukan sekadar kesetaraan, melainkan pemberian kepada masing-masing sesuai haknya.
"Menurut saya saat ini semua dalam masa pembenahan untuk menciptakan tata kelola BBM yang lebih pro-rakyat melalui kuota fleksibel, transparan dan mengedepankan transisi energi inklusif, serta terpenting bahwa negeri ini sudah saatnya fokus dan serius melakukan hilirisasi energi, termasuk BBM yang dikonsumsi masyarakat. Sehingga dari sini, negeri ini dapat menyudahi ketergantungan impor BBM yang sudah melalui refinery," jelasnya.
Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur ini melihat secara positif bahwa kebijakan Bahlil maupun gugatan itu jika dikelola dengan tepat bisa menjadi starting poin pembenahan atas tata kelola BBM untuk swasta. Termasuk kesadaran kembali ke projusticia jika dirasa ada koreksi dan potensi pelanggaran dari sebuah kebijakan eksekutif yang merugikan konsumen atau publik.
"Kasus ini bisa jadi tonggak reformasi, di mana suara rakyat tak lagi bergema sia-sia, tapi menjadi nadi kebijakan. Menjadi bermakna sebuah kebijakan yang diambil oleh pengelola negara jika ada keberatan dan koreksi dari rakyatnya demi menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban," pungkas Prof Henry yang juga Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini.