JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Salah satu butir penting dalam Astacita Visi Misi Presiden Prabowo Subianto adalah komitmen terhadap penegakan hukum yang adil, konsisten, dan memberikan kepastian bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tokoh Pengacara senior Ferry Juan,SH Ketua SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) menegaskan bahwa butir penting itu menegaskan bahwa hukum harus menjadi instrumen keadilan, bukan alat kekuasaan di masa pemeritahan Presiden Prabowo.
Namun, langkah dan pernyataan, Supratman Andi Agtas, yang telah dipercaya oleh Presiden sebagai Menteri Hukum justru menunjukkan arah sebaliknya.
"Alih-alih memperkuat kepastian hukum, kebijakannya dalam kasus legalitas (SOKSI) justru menimbulkan ketidakpastian dan membuka peluang akan intervensi politik dalam urusan ormas," jelas Ferry Juan yang juga Ketua Umum BKS (Baladhika Karya SOKSI) kepada wartawan pada Jumat (17/10/2025) di Jakarta.
Menteri Hukum tidak boleh Melanggar Hukum dan Salah Arah dari Astacita
Dalam pernyataannya pada 16 Oktober 2025 dimedia news.detik.com dan lain-lainnya, Supratman menyebut “SOKSI memang ormas mandiri, tetapi tetap menjadi bagian dari Partai Golkar. Oleh karena itu ,Kemenkum memperhatikan dan mengikuti keputusan DPP Partai Golkar terkait pengakuan atas SOKSI dibawah kepemimpinan Pak Misbakhun”.
Pernyataan tersebut menjadi dasar bagi Kemenkum untuk menyetujui perubahan legalitas SOKSI berdasarkan surat Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia kepada Menkum RI.
Pemahaman dan langkah Menkum Supratman adalah keliru dan menyesatkan. Demi menuruti surat Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, Menkum itu telah melanggar hukum negara yang seharusnya menjadi pedoman utamanya, yakni UU Ormas; Kemenkumham RI tentang Kepemimpinan dan AD/ART SOKSI yang sudah disahkan tahun 2023, jo tahun 2018 jo tahun 2016; dan Surat Dirjen AHU 18 Desember 2023 yang menegaskan bahwa pembukaan blokir badan hukum SOKSI hanya dapat dibuka atas permintaan Ketua Umum SOKSI, Ir. Ali Wongso Sinaga.
“Langkah Menkum ini, lanjut Ferry, bukan hanya menyimpang tetapi juga berpotensi menjadi preseden berbahaya bagi ormas-ormas lain jika tidak segera dikoreksi,” tegas Ferry.
Ia menambahkan, demi tegaknya hukum dan wibawa pemerintah, Presiden haruslah memerintahkan pencabutan atau pembatalan keputusan Menkum yang keliru tersebut, sesuai asas contarius actus dimana pejabat atau atasan berwenang membatalkan kepetusan yang melanggar hukum, analog dengan kasus kebijakan Menteri ESDM tentang LPG 3 kg dan Tambang Nikel Raja Ampat.
Ferry menegaskan, pembatalan itu penting bukan hanya untuk memulihkan kemandirian SOKSI, tetapi juga untuk menghindari kesalahan serupa terhadap ormas pendiri Partai Golkar lainnya, Kosgoro 1957 dan Ormas MKGR.
Langkah Menkum ini, lanjutnya , secara hakikat identik tindakan “anarkhisme administratif” dan ini bukan sekadar karena salah tafsir, tetapi bentuk ketidaksetiaan terhadap prinsip dasar Astacita, khususnya butir ke-7 tentang penegakan hukum dan kepastian hukum dalam rangka reformasi hukum yang dijanjikan Presiden Prabowo.
“Hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan partai politik, terlebih jika ormas yang dimaksud memiliki badan hukum sendiri yang sudah disahkan sebelumnya oleh Pemerintah dan berdiri jauh sebelum partai itu lahir,” tegasnya.
Kader senior gemblengan Mayjen TNI (Purn) Prof.Dr.Suhardiman Pendiri SOKSI dan GOLKAR itu menilai Keputusan Menkum ini menandai kegagalan administratif dan moral, karena telah menjadikan kementeriannya sebagai alat pembenar intervensi partai politik terhadap organisasi masyarakat yang mandiri.
Ketika Pembantu Presiden Menyimpang dari Visi Presiden
Ferry menegaskan, Presiden Prabowo menempatkan para menterinya sebagai pelaksana visi dan misi, bukan sebagai penafsir subyektif atas visi itu.
Dalam konteks ini, Menkum Supratman telah gagal menjalankan mandat kepresidenan untuk menciptakan sistem hukum yang adil, netral, dan memberi kepastian bagi masyarakat maupun dunia usaha.
"Mengapa Menkum itu sampai gagal demikian tentu amat disesalkan. Entah ada konspirasi apa antara dirinya dengan saudara Bahlil (Ketum Partai Golkar), dan saudara Misbakhun (Komisi XI DPR), biarlah publik menilainya sendiri ,” kata Ferry.
Yang pasti, tambahnya, ketidakpastian hukum akibat kebijakan Menkum berpotensi menurunkan kepercayaan publik dan menimbulkan legal risk bagi investor yang menilai Indonesia dari stabilitas hukumnya.
Lebih jauh, kebijakan Menkum Supratman juga membuka peluang bagi saudara Bahlil Ketum Partai Golkar untuk melakukan tindakan politik yang berpotensi menguasai Tri Karya Pendiri Partai Golkar dengan melanggar hukum dan konstitusi Partai Golkar khususnya Pasal 37 Anggaran Dasar Partai Golkar.
Ferry mengingatkan pesan para pakar hukum, “kepastian hukum adalah modal utama kredibilitas publik dan investasi.”
Jika aparat hukum, termasuk Menkum, justru menimbulkan kekacauan tafsir dan memihak kepentingan politik, maka komitmen Astacita untuk “memperkuat kredibilitas pemerintah dan iklim investasi melalui kepastian hukum” akan kehilangan makna.
Presiden Harus Bertindak Tegas
Presiden Prabowo dikenal tegas dan berani mengambil keputusan demi kepentingan bangsa. Publik masih mengingat pidato Presiden Prabowo pada peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2025 lalu yang tegas menyatakan tidak akan ragu menyingkirkan mereka yang tidak setia pada negara – tanpa pandang bulu,dan partai mana atau keluarga siapa.”
Kini, ujian kepemimpinan itu ada di meja Presiden sendiri : apakah akan membiarkan pembantunya melanggar semangat Astacita, atau bertindak untuk menegakkan kembali disiplin dan marwah hukum pemerintahan.
Evaluasi terhadap kinerja Menkum Supratman, kata Ferry, bukan soal politik pribadi, tetapi soal kesetiaan terhadap visi - misi Presiden dan integritas hukum negara.
“Menteri yang gagal memahami mandat hukum dari Presiden seharusnya dengan rendah hati mundur - atau dengan tegas diganti oleh Presiden,” ujarnya.
Pengacara senior itu menambahkan. “Jika Presiden ingin menjaga dan meningkatkan kepercayaan rakyat serta dunia internasional terhadap arah pemerintahannya, maka konsolidasi hukum harus dimulai dari atas — dari Kementerian Hukum sebagai benteng utama hukum itu sendiri”.
Ferry Juan menegaskan, Astacita bukan sekadar dokumen visi misi, melainkan janji moral kepada rakyat bahwa negara ini akan dipimpin dengan keadilan dan kepastian hukum.
Namun janji itu akan hampa jika pembantu Presiden dibidang hukum justru melanggarnya di lapangan.
“Demi menjaga kredibilitas pemerintahan, kepercayaan publik, dan memastikan arah hukum yang lurus, Presiden Prabowo perlu mengganti Menkum Supratman yang tidak setia dan tidak perform," pungkas Ferry.
“Dalam negara hukum, loyalitas tertinggi seorang menteri bukan kepada kelompok atau partai, tetapi kepada konstitusi dan visi Presiden yang dilayaninya," tutupnya.