Oleh Sahlan Ake pada hari Jumat, 12 Des 2025 - 18:20:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Bencana Sumatra, Prof Henry Indraguna Sebut Lebih Dahsyat Kerusakan Terorisme dan Korupsi

tscom_news_photo_1765538405.jpg
Henry Indraguna (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Hingga Selasa (9/12/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 964 orang meninggal dunia akibat banjir di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Hingga saat ini juga masih ada 264 orang dinyatakan hilang.

Dampak terparah menimpa Aceh (391 korban jiwa), Sumatra Utara (338 jiwa), dan Sumatra Barat (235 jiwa), disertai pengungsian lebih dari 3,2 juta penduduk serta kerusakan infrastruktur senilai triliunan rupiah.

Menurut pakar hidrologi UGM, Dr Hatma Suryatmaja, banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi "dosa ekologis" di hulu DAS atau Daerah Aliran Sungai.

"Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS," ungkap Dr. Hatma Suryatmojo.

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa bencana ini bukan kebetulan, melainkan akibat degradasi ekosistem yang telah berlangsung puluhan tahun.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bencana ini dipicu siklon tropis Senyar yang membawa hujan ekstrem, tetapi diperburuk oleh hilangnya tutupan hutan seluas 1,4 juta hektare di tiga provinsi tersebut sejak 2016.

Degradasi ini terkait aktivitas 631 perusahaan pemegang konsesi.

Investigasi awal KLHK mengidentifikasi 12 subjek hukum, termasuk pemegang Hak Atas Tanah (Hak Guna Usaha/HGU) dan izin pemanfaatan hutan (PBPH), yang diduga terlibat penebangan liar dan konversi lahan untuk perkebunan sawit serta pertambangan.

Pelanggaran Berat UU PPLH

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menyoroti pelanggaran hukum yang terlihat jelas.

Prof Henry menyebut kasus ini melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 12 huruf e yang melarang penebangan di luar izin, dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara dan denda Rp2,5 Miliar.

"Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terbukti dilanggar melalui Pasal 69, di mana deforestasi tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) memicu strict liability," tegas Prof Henry kepada suarakarya.id saat berduka dan mengikuti prosesi pemakaman mendiang ayahanda Petrus Indraguna yang tutup usia 81 tahun di Solo, Senin (8/12/2025).

Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini mengungkapkan prinsip precautionary dan intergenerational equity dalam Pasal 3 dan 4 PPLH diabaikan total.

Hal ini berpotensi menjadi tindak pidana korupsi via UU Nomor 31 Tahun 1999, dengan sanksi seumur hidup.

Secara filosofis, Prof Henry merujuk konsep deep ecology Arne Naess, yang menekankan nilai intrinsik alam sebagai "tubuh hidup" yang tak boleh direduksi menjadi komoditas.

"Di Indonesia, ini selaras dengan sila kedua yang menuntut empati ekologis, sementara Sila Kelima menjamin keadilan antargenerasi. Tanpa restorasi seperti moratorium deforestasi dan reboisasi komunal, kita sejatinya bukan penjaga bumi, tapi justru jadi aktor utama perusaknya," beber Prof Henry.

Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini juga mendukung tuntutan aktivis agar banjir ini diklasifikasikan sebagai bencana nasional agar ada intervensi pusat yang lebih massif. Penegakan hukum menurut Henry harus ditekankan pada efek jera.

"Hukum bagi pelaku kejahatan seperti korupsi atau terorisme sebagai kejahatan ekstra ordinary agar keadilan ekologis menjadi norma," tandas Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini.

tag: #bencana-alam  #sumatera-barat  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PRAY SUMATRA
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement