JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Menyikapi krisis hubungan antarumat beragama di Tolikara, Papua, para ulama yang tergabung dalam Komite Umat untuk Tolikara (KOMAT) mengadakan konferensi pers yang dilakukan di Restoran Pulau Dua, Kompleks Taman Ria Senayan, Jakarta, pada Kamis (23/7/2015).
Konferensi pers yang dihadiri beberapa tokoh seperti Didin Hafidhuddin, Hidayat Nur Wahid, Bachtiar Nasir, M Syafii Antonio, dan Yusuf Mansur ini mendorong semua pihak untuk mewujudkan kondisi damai dan toleransi di kabupaten Tolikara, pasca insiden pembakaran musholla pada Hari Raya Idul Fitri, Jumat (17/7/2015) lalu.
KOMAT yang berisi para tokoh dan ulama ini utamanya meminta semua ormas dan elemen masyarakat untuk secara bersama-sama menyalurkan bantuannya secara terkordinasi melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (Laznas) yang dikordinasikan oleh Forum Zakat (FOZ), agar pemulihan dan pembangunan perekonomian di Tolikara berjalan dengan efektif.
Para ulama ini juga mendorong pihak keamanan untuk memberikan jaminan keamanan dan ketenangan bagi masyarakat muslim di Tolikara dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, pasca insiden penyerangan shalat idul fitri. Selain itu, para ulama mendukung langkah umum yang tegas, adil dan transparan terhadap aktor intelektual atau oknum-oknum yang terindikasikan melakukan gerakan radikalisme, separatisme, dan terorisme harus tetap dilakukan untuk mewujudkan keadilan.
Selain itu, menurut Ketua KOMAT Bachtiar Nasir, masalah Tolikara adalah masalah dalam negeri. Sehingga, menurutnya, semua pihak perlu mewaspadai kepentingan asing atau pihak lain yang tidak bertanggung jawab terhadap kedaulatan NKRI.
“TNI dan Polri harus menindak unsur-unsur atau atribut yang mengarah pada keterlibatan pihak asing yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Dalam kesempatan ini, KOMAT juga menyatakan dukungannya kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mencabut perda yang telah diakui oleh bupati Tolikara bersifat diskriminatif tentang aturan pembatasan pembangunan rumah ibadah di kabupaten Tolikara.
“Perda ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) dan tidak kondusif untuk toleransi antar umat beragama, khususnya di Tolikara,” ujar Bachtiar. (mnx)