JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Asad Said Ali belum layak memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Alasannya, selain tak punya akar di kalangan pesantren, juga tidak bersih dengan sejumlah kasus Hak Asasi Manusia (HAM).
"Soal dugaan keterlibatan pada kasus Munir, akan tetap melekat. Kasihan NU-nya nanti kena beban," katanya via sambungan seluler di Jakarta, Minggu (02/08/2015).
Menurut Haris, kejadian ini mirip saat Mayjen (Purn TNI) Muchdi Pr yang ingin mencalonkan diri menjadi Ketua umum Muhammadiyah dalam muktamar Muhammadiyah pada Juli 2010 di Yogyakarta. Namun hal itu bisa dicegah oleh kalangan muda Muhammadiyah.
"Ya, akhirnya Muchdi kalah dengan Din di Muktamar Muhammadiyah," jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Haris, PBNU sebagai ormas Islam yang juga bergerak memperjuangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bisa menjadi alat selektif untuk mencari pemimpin progresif.
"Setidaknya NU bisa dipakai untuk memilih pemimpin bangsa ke depan. Bukan orang yang memiliki beban masa lalu," tambahnya.
Sosok Asad, kata Haris, lebih menonjol sebagai teknokrat.
"Dia bukan seorang kiai. Dia itu orang NU yang berkarier di luar. Sementara NU lebih membutuhkan seorang ulama kharismatik sebagai simbol perjuangan," terang dia lagi.
Namun begitu, Haris membenarkan Asad hanya cocok sebagai pengurus PBNU saja, bukan menjabat sebagai ketua umum.
"Bolehlah kalau untuk salah satu ketua saja, tapi bukan ketua umum," cetusnya.
Seperti diketahui ada tiga calon ketua umum PBNU yang bersaing di Muktamar NU saat ini, yakni KH Said Aqil Siradj (Ketua umum saat ini), Asad Said Ali (Wakil Ketua umum) dan Salahudin Wahid (Gus Sholah). Sebelum menjabat Waketum PBNU, Asad Said Ali merupakan birokrat karier. Dia pernah menjadi sebagai Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN). (mnx)