JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya, serta Yayasan Beasiswa Supersemar.
Mantan Sekretaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu yang mengaku pernah menerima beasiswa supersemar mempertanyakan keputusan MA yang meminta ahli waris Soeharto mengganti kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun.
"Apa salahnya beasiswa supersemar sehingga hakim memutuskan untuk diganti? Saya salah satu penerima beasiswa tersebut siap urunan kalau memang salah," tulis Said dalam aku twitter pribadinya, @saididu, Kamis (13/8/2015).
Said mengaku, dirinnya masih bingung alasan disalahkannya Yayasan Beasiswa Supersemar yang telah membantu orang miskin untuk bisa mengenyam pendidikan. Bahkan, dia menyinggung kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tidak ada tindak lanjut dari pemerintah, padahal telah merugikan negara ratusan triliun.
BLBI yang sudah membebani rakyat ratusan trilyun diam2 saja, tapi supersemar yang bantu orang miskin sekolah kok disalahkan. Keadilan ke mana?," ketus dia.
Dia pun mengimbau kepada seluruh penerima beasiswa supersemar yang berjumlah jutaan orang untuk bersatu melawan ketidakadilan.
"Saya bisa jadi begini karena mendapatkan beasiswa SUPERSEMAR. Saya bisa diskusi pembuatan kapal selam di Australia untuk bangun kapal selam di PT PAL karena dapat beasiswa SUPERSEMAR," tutup Said.
Seperti diketahui, kasus beasiswa Supersemar bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.
PP inilah yang membuat Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser mendapat gelontoran dana sebesar USD 420 juta dan Rp185 miliar. Dana besar yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia tersebut ternyata diselewengkan.
Setelah Soeharto tumbang pada Kamis 21 Mei 1998, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejaksaan Agung (Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Kejagung membutuh waktu bertahun-tahun untuk menjerat Soeharto dan mengembalikan uang rakyat tersebut. Korps Adhyaksa pun baru berhasil memenangkan gugatan di PN Jaksel pada 27 Maret 2008. Gugatan ini dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Namun saat kasasi, terjadi salah ketik. Seharusnya Yayasan Supersemar diwajibkan membayar 75 persen dikali USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen dikali Rp185.918.904.000 sama dengan Rp 139.229.178.000. Tetapi, putusan kasasi tertulis justru Rp 185.918.904.
Kesalahan ketik ini pun membuat putusan tidak dapat dieksekusi.
Kemudian, jaksa melakukan PK pada September 2013. Dalam PK ini, Jaksa Agung saat itu, Basrief Arief memasukkan ahli waris keluarga Soeharto untuk bertanggung jawab, karena Soeharto telah meninggal dunia.
Tanggal 8 Juli 2015 Mahkamah Agung lalu mengabulkan permohonan Pemohon PK yaitu Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia terhadap termohon tergugat HM Soeharto alias Soeharto (ahli warisnya) dan kawan-kawan.
Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau semuanya Rp 4,389 triliun.(yn)