Oleh Said Salahudin (Pengamat Hukum Tata Negara dan Kepemiluan) pada hari Rabu, 30 Sep 2015 - 14:32:33 WIB
Bagikan Berita ini :

Putusan MK Soal Calon Tunggal Harus Ditaati tapi Harus Dikritisi

35pilkada2.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Istimewa)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pasangan calon (Paslon) tunggal perlu disikapi secara proporsional. Pada satu hal putusan tersebut tentu harus dipatuhi, tetapi secara akademis tentu juga tidak diharamkan untuk dikritisi. Saya berpandangan setidaknya ada 11 hal yang patut dikritisi dari Putusan tersebut.

Pertama, MK kurang komprehensif dalam membedah permasalahan Paslon tunggal. MK cenderung terfokus pada permasalahan, tetapi tidak mau melihat apa yang sesungguhnya menjadi akar permasalahannya.

Akar masalah dari munculnya Paslon tunggal itu sesungguhnya adalah karena terlalu beratnya persyaratan pencalonan yang ditetapkan oleh UU. Sebelumnya, syarat dukungan Paslon yang diusung parpol, misalnya, minimal 15% baik perolehan kursi DPRD ataupun perolehan suara partai pada Pemilu. Sekarang, UU menaikkan persyaratannya menjadi minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara Pemilu.

Akibatnya, hanya sedikit Paslon yang bisa diusung parpol. Benar parpol diperbolehkan untuk berkoalisi, tetapi itu bukan perkara yang mudah. Dulu, saat syarat dukungan Paslon masih terjangkau, kita tidak menjumpai ada kasus Paslon tunggal.

Repotnya lagi, KPU ikut memperburuk keadaan dengan membuat aturan yang juga menghambat pendaftaran Paslon. Kegiatan penelitian persyaratan yang dilakukan oleh KPUD pada tahap pendaftaran membuat banyak Paslon gagal mencalonkan diri. Padahal, antara tahap pendaftaran dan tahap penelitian adalah dua tahapan yang secara tegas diatur berbeda oleh UU.

Akibatnya, kemarin kita saksiskan ada begitu banyak Paslon yang ditolak pendaftarannya oleh KPUD, sehingga di beberapa daerah muncullah kasus Paslon tunggal. Pada soal beratnya persyaratan pencalonan itulah seharusnya MK memainkan perannya.

Kedua, MK tidak berpijak pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menekankan kata "dipilih" dalam pengisian jabatan kepala daerah. Dalam sistem pengisian jabatan, kata dipilih menunjuk kepada sebuah sistem bernama pemilihan (election). Soal caranya mau dilaksanakan langsung (direct election) atau tidak langsung (indirect election) itu soal lain. Tetapi yang pasti dalam sistem pemilihan dikehendaki adanya lebih dari satu calon. Itulah salah satu ciri dari sistem pemilihan.

Kalau hanya satu calon, itu ciri dari sistem penetapan seperti pada pengisian jabatan Gubernur dan Wagub DIY yang merujuk Pasal 18B UUD 1945, atau sistem pengangkatan (appoinment) seperti pengisian jabatan kepala daerah pada masa orde lama dan orde baru, atau sistem penggiliran seperti untuk pengisian jabatan raja Malaysia, misalnya.

Ketiga, tidak benar pendapat MK yang menyatakan terjadi kekosongan hukum dalam kasus Paslon tunggal. Bukankah sudah ada Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur ketentuan dalam hal terjadi Paslon tunggal? Apakah PKPU bukan bagian dari hukum sehingga dianggap tidak ada oleh MK?

Keempat, tidak benar penilaian MK bahwa PKPU yang mengatur perpanjangan masa pendaftaran dan penundaan Pilkada dalam hal masih terdapat Paslon tunggal tidak menyelesaikan persoalan. Sebab model Pilkada ala MK juga berpeluang untuk terjadi penundaan dalam hal rakyat yang menyatakan "tidak setuju" jumlahnya lebih banyak dari Paslon tunggal.

Kelima, model Pilkada ala MK telah mengubah pengertian atau makna pemilihan. Yang namanya pemilihan itu kan memilih calon atau orang, bukan untuk menyatakan sikap "setuju" atau "tidak setuju". Kalau yang ingin dikejar dari pemilih adalah pernyataan "setuju" atau "tidak setuju", maka tidak perlu susah-payah pemilih harus datang ke TPS hanya untuk menyatakan tidak setuju, misalnya.

Keenam, model Pilkada ala MK berpotensi menyebabkan membengkaknya anggaran Pilkada. Dalam hal Pilkada harus dilaksanakan dua kali atau mungkin lebih akibat lebih banyak pemilih yang menyatakan tidak setuju dengan Paslon tunggal, maka sudah barang tentu anggaran Pilkada juga harus berkali-kali lipat. Ini tentu tidak sesuai dengan salah satu tujuan diselenggarakannya Pilkada serentak, yaitu agar negara bisa melakukan efisiensi.

Ketujuh, secara teknis Pilkada ala MK akan merepotkan pemilih. Apabila Pilkada tetap harus diundur, maka pemilih harus bolak-balik ke TPS. Ini tentu membuat 'ribet' pemilih.
Kedelapan, konsekuensi apabila Pilkada terpaksa dilaksanakan lebih dari satu kali, maka jumlah hari libur juga akan bertambah, sebab Pilkada harus diselenggarakan pada hari yang diliburkan.

Kesembilan, ada dampak yang sangat serius dari diperbolehkannya Paslon tunggal dalam Pilkada. Ketika MK mengatakan alasannya untuk menyelamatkan hak rakyat, maka dengan dalih yang sama boleh jadi kelak MK pun akan memperbolehkan Paslon tunggal dalam Pilpres. Dapatkah anda membayangkan hal itu? Jangan bilang itu tidak mungkin terjadi. Paslon tunggal dalam Pilkada pun pada awalnya diperkirakan tidak akan terjadi.

Kesepuluh, sangat disayangkan sikap MK yang tidak memberikan kesempatan kepada pembentuk UU untuk hadir dalam persidangan guna menjelaskan intensi dari pasal yang sedang diuji. Benar MK tidak wajib meminta keterangan dari DPR dan Presiden, tetapi anehnya mengapa MK justru merasa penting untuk mengundang KPU? Padahal ini kan Judicial Review (JR) norma UU terhadap konstitusi, bukan JR Peraturan KPU terhadap UU.

Nah, akibat dari tidak didengarnya keterangan DPR dan Presiden sebagai lembaga yang paling tahu tentang maksud dan tujuan dari dibuatnya norma yang diuji, maka pada tingkat tertentu pastilah mempunyai pengaruh terhadap apa yang kemudian diputuskan MK.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

tag: #calon tunggal  #mk  #pilkada serentak  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya