JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai, ada yang kurang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) no 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Nasir, belum terlihat sempurna karena tidak ada pasal yang mengatur tentang upaya pencegahan dan rehabilitasi kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
"Padahal ini seharusnya menjadi bagian utuh dalam Perppu, sehingga dapat ditindaklanjuti dalam program-program pemerintah, baik pusat maupun daerah," kata Nasir ketika dihubungi, Kamis (25/5/2016)
Politisi PKS ini menuturkan, bahwa kejahatan seksual ini tidak berdiri sendiri. Ada banyak variabel yang melatarbelakanginya yaitu faktor lingkungan, pendidikan, gaya hidup, masalah rumah tangga, tontonan, media massa, dan sebagainya.
Hukuman yang berat itu lanjut Nasir, harus diikuti dengan langkah-langkah antisipasi yang memadai. Pemerintah diminta bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang dapat mereduksi kemungkinan para pelaku pedofil beraksi.
"Pemerintah juga misalnya harus berpikir bagaimana membuat tayangan-tayangan yang dikonsumsi masyarakat tidak justru mendorong perilaku-perilaku menyimpang," jelasnya.
Meski demikian Nasir mengapresiasi langkah cepat Presiden Jokowi dalam membuat Perppu ini untuk memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, yakni ancaman hukuman mati, dan penjara minimal 10 tahun sampai maksimal 20 tahun.
Perppu ini juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik atau chip.
Politisi asal Aceh ini berharap para hakim yang menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak memiliki frame yang sama akan darurat kekerasan seksual terhadap anak. Untuk itu hakim diminta untuk memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku.(yn)