JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Dalam revisi UU Pemilu yang dikirim ke DPR pekan lalu, pemerintah menawarkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas. DPR menilai, sistem ini bisa memancing keributan di masyarakat.
Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarulzaman meminta pemerintah menjelaskan lebih detil sistem proposional terbuka terbatas tersebut. Sebab, sistem ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
"Pemerintah membuat UU sama dengan sistem proporsional tertutup, namun masyarakat boleh mencoblos, itu bagaimana. Karena itu harus dibicarakan dulu dengan DPR," ujar Rambe di Jakarta, Senin (24/10/2016).
Dia menilai, sistem tersebut bisa memancing keributan di tengah masyarakar. Dengan sistem proporsional terbuka terbatas, orang dibolehkan mencoblos namun yang menentukan lolos-tidaknya calon yang dicoblos adalah partai politik. Jika seorang caleg memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif,namun nasibnya ditentukan oleh parpol, maka akan menimbulkan keributan di masyarakat.
"Misalnya, orang lebih banyak menyoblos nomor urut lima, tapi nomor urut pertama yang diloloskan oleh parpol, itu bisa ribut," jelasnya.
Ia menyarankan jika pemerintah harus menggunakan sistem tertutup murni atau sistem terbuka murni agar tidak terjadi kebingungan.
"Kalau pemerintah ingin tertutup maka harus tertutup murni atau kalau mau terbuka, maka harus terbuka murni. Sistem yang diajukan pemerintah inu kombinasi antara terbuka dan tertutup," katanya.
Dalam draft itu, Pasal 138 ayat (2) menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Lalu di Pasal 138 ayat (3) menjelaskan, sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik. (plt)