JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pemerintah dan partai pendukung pemerintah menolak revisi UU Pemilu. Konsekuensinya, Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan dan akan dilaksanakan bersamaan pada Pilpres dan Pileg 2024.
Pengamat Komunikasi Politik, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan bahwa jika banyak pihak yang menolak revisi UU Pemilu dan akan dilaksanakannya Pilpres dan Pileg secara bersamaan maka akan sangat mengerikan.
“Kalau itu benar terjadi, maka akan ada 101 daerah yang tidak melaksanakan pilkada 2022 dan 170 daerah pada tahun 2023. Ini berarti, ada 271 daerah tidak melaksanakan pilkada. Dari jumlah tersebut, ada 24 gubernur, 191 bupati, dan 56 wali kota yang habis masa jabatannya. Sesuai aturan mereka akan diganti oleh pelaksana tugas (PLT). Sungguh mengerikan bila ada 271 daerah yang dipimpin PLT. Jumlah ini tentu terbanyak selama Indonesia berdiri. Jokowi akan memegang rekor tertinggi sebagai presiden yang daerahnya dipimpin PLT,” tandasnya, Minggu (14/2/2021).
Jamaluddin Ritonga juga mengatakan para PLT hanya akan melaksanakan tugas rutin. Mereka tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
“Jadi, kalau pilkada 2022 ditiadakan, maka akan ada 101 PLT di daerah yang selama dua tahun tidak boleh mengambil keputusan strategis. Sementara kalau pilkada 2023 ditiadakan, berarti ada 171 daerah yang dipimpin PLT dan dalam satu tahun daerah itu tidak boleh mengambil kebijakan strategis. Tentu sungguh sulit bagi daerah tersebut dalam dua tahun atau satu tahun tidak diperbolehkan mengambil kebijakan strategis. Apalagi kalau ada masalah krusial yang meminta segera diatasi, tentu para PLT tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.
Menurut Jamaluddin, jika hal itu benar-benar terjadi nantinya rakyat di daerah tersebut akan menderita. Rakyat harus menunggu pemimpin daerah definitif, baru bisa diambil kebijakan strategis atas persoalan yang mereka hadapi. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan 271 PLT. Tentu ini bukan jumlah sedikit yang harus disiapkan menteri dalam negeri.
Namun apakah akan tersedia 271 PLT yang benar-benar mumpuni. Untuk ini tentu pemerintah tidak bisa terlalu pede seolah-olah memiliki stok yang cukup untuk memenuhi kebutuhan PLT pada tahun 2022 dan 2023. Kemudian hal tersebut jika tidak cukup stok PLT yang mumpuni, tentu 271 daerah tersebut akan semakin menderita. PLT seadanya dan tidak dapat mengambil kebijakan strategis akan membuat daerah itu makin tertinggal dari daerah lain yang dipimpin kepala daerah definitif.
“Semua itu tentu tidak kita inginkan terjadi. Karena itu, keputusan menolak revisi UU tentang Pemilu seyogyanya dikaji ulang,” katanya.
Jamaluddin Ritonga juga berharap pada Pemerintah dan partai pendukung pemerintah haruslah mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan politik jangka pendek.
"Semoga pemerintah dan partai pendukung terketuk hatinya untuk berpihak pada rakyat," pungkasnya.