JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Selama masih mengonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium atau Bensin, menurut anggota DPR Satya Widya Yudha, maka mobil Low Cost Green Car (LGCC) tak bisa dibilang mobil murah. Sebab, mobil seperti ini masih mengumsumsi bahan bakar yang harganya masih tergolong mahal.
Satya menyarankan agar mobil LCGC tepat menyandang nama mobil murah seharusnya berbahan bakar gas. "Itu baru betul-betul menjadi mobil murah. Alasannya harga perliter gas itu lebih murah dari harga Bensin," ujar Satya kepada TeropongSenayan, Kamis (15/1/2015) di gedung DPR, Jakarta.
Politisi lulusan ITS Surabaya ini mengungkapkan saat ini Harga seliter gas itu bisa Rp4000 sampai Rp4100 sedangkan harga Bensin Rp7600 per liter. Sehingga untuk mengoperasikan dan menjalankan mobil jenis ini tetap membutuhkan biaya yang tidak murah lagi.
Program mobil murah atau dikenal LCGC dengan harga dibanderol sekitar Rp 95 jutaan per unit akhirnya disetujui. Kalangan pabrik mobil berlomba-lomba memproduksi mobil jenis ini dengan pertimbangan pasarnya cukup besar.
Mobil ini seakan dikenal murah karena diluncurkan saat harga BBM jenis Premium masih mendapat subsidi yang lebih besar dibanding saat ini.
"LCGC itu mobil murah yang menggunakan bbm. Jadi sebetulnya kan tidak efektif karena apapun juga yang menggunakan bahan bakar minyak itu mahal. Meski saat ini subsidinya sudah semakin kecil, namun tetap mengonsumsi BBM bersubsidi," ujar Satya.
Dia mengingatkan sekecil apapun subsidi Premium, jika semakin banyak yang mengonsumsi maka hanya akan semakin membebani keuangan negara.
Anggota Komisi VII ini mengingatkan kepada masyarakat dan pemerintah agar tidak terjebak pada istilah. Sebab pada kenyataannya mobil jenis LCGC tidak benar-benar jenis mobil murah.
"Kalau program mobil LCGC masih diterusakan masyarakat harus sadar kalau itu bukan lagi mobil benar-benar murah. Sebab meski harganya relatif lebih murah dibandingkan yang lain tetapi masih mengonsumsi Bensin," kata Satya.(ris)