NUSA TENGGARA BARAT (TEROPONGSENAYAN) - Ketua Komisi III DPRD Nusa Tenggara Barat, Johan Rosihan menilai kebijakan menaikkan biaya pengurusan STNK dan BPKB tidak adil bagi daerah.
"Karena kantor Samsat kita yang siapkan dan pelayanan di kantor Samsat maupun Drive True saja belum optimal," kata Johan Rosihan di Mataram, Jumat (6/1/2017).
Menurut dia, meski yang naik hanya biaya stempel, namun sebelum ini berlaku stempel di STNK ternyata tidak masuk sebagai pendapatan negara. Sebelumnya stempel hanya menjadi "pungutan liar" yang nilainya Rp 10 ribu. Sekarang dilegalkan menjadi Rp 20 ribu.
Stempel di BPKB dan stempel pada pelat nomor kendaraan memang dari dulu sebagai pendapatan negara. Sehingga yang naik itu hanya komponen PNBP pada STNK/BPKB. Karenanya, tidak ada kenaikan pajak STNK/BPKB yang merupakan pajak daerah.
Selain itu, mahalnya biaya pengurusan STNK dan BPKB juga dinilai akan berakibat pada enggannya warga membayar pajak kendaraan. Karena walaupun bukan pajaknya naik, tapi komponen-komponen tadi adalah satu satuan harga yang harus dibayar bersamaan oleh wajib pajak.
"Jika itu terjadi maka pasti akan berdampak kepada PAD Provinsi yang sangat tergantung sekali dengan pajak kendaraan bermotor," tegas politisi Dapil Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat ini.
Karena itu, Ketua Fraksi PKS DPRD NTB itu meminta agar presiden segera mencabut kebijakan yang tidak adil tersebut.
Selain itu, kata Johan, dalam aplikasinya di lapangan, kadang petugas membuat tafsir sendiri yang merugikan wajib pajak. Sebagai contoh, jika masyarakat menunggak pajak tiga tahun, maka ditahun ketiga ketika masyarakat bayar pajak, akan dikenakan tiga kali pengesahan sekaligus.
"Kalau kita nunggak 6 tahun, maka dikenakan pengesahan 6 kali dengan biaya pergantian STNK dan TNKB 2 kali pula. Padahal sebelum PP pergantiannya cukup sekali," ujarnya. (Antara/icl)