JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- PT Indo Beras Unggul (IBU) selaku entitas anak usaha PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) membantah tuduhan pemalsuan kualtias produknya. Dikatakan ada perbedaan standar pengukuran yang dipakai perusahaan dengan pihak Satuan Tugas (Satgas) Pangan dalam menentukan kategori beras premium.
Dari sisi IBU penentuan kategori beras, SNI menggunakan parameter fisik beras. Sedangkan Satgas Pangan mematok standar premium berdasarkan jenis atau varietasnya. Pihak PT IBU pun tak mengelak bahwa mereka memproduksi beras IR 64. Namun dengan kualitas premium sesuai dengan standar SNI berdasarkan visual bukan berdasarkan jenis varietas.
Menanggapi penolakan tudingan IBU ini, Kepala Subbidang Data Sosial- Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Ana Astrid menegaskan, tidak ada kebohongan publik dari apa yang disampaikan pemerintah terkait adanya temuan subisidi beras yang dijual dengan harga premium.
"Yang dimaksud beras memperoleh subsidi adalah dalam memproduksi beras tersebut, ada subsidi input yaitu subsidi benih Rp1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp31,2 triliun, bahkan ditambah lagi ada bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari Pemerintah yang besarnya triliunan juga,” tuturnya dalam Siaran Pers Kementerian Pertanian, Minggu (23/7/2017).
Dia melanjutkan, varietas beras IR 64 merupakan salah satu benih padi dari Varietas Unggul Baru (VUB) di Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya. VUB total digunakan petani sekitar 90 peren dari luas panen padi sekira 15,2 juta hektar (ha) setahun.
“Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang, Impari dan lainnya,” tuturnya.
Asal tahu saja, kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan beras IR 64 baru. Akibatnya sering kali diistilahkan varietas unggulan baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya ya sebagian petani menyebut benih jenis IR.
“Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp3.500-Rp4.700 per kg gabah,” ungkapnya.
“Jadi perusahaan ini membeli gabah atau beras jenis varietas VUB dan harga beli dari petani relatif sama, selanjutnya dengan diolah menjadi beras premium dan dijual ke konsumen dengan harga tinggi. Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang mereka peroleh tinggi bisa 100% mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi," sambungnya.
Atas Tudingan PT IBU, Ana mengatakan, negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama, uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati. Produk dari petani diolah oleh perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen.
Jika hitungan kerugian seperti ini, harga beras di petani sekitar Rp7.000 per kg dan harga premium di konsumen sampai Rp20.000 per kg. Ibaratkan selisih harga ini minimal Rp10.000 per kg bila dikalikan beras premium yang beredar 1,0 juta ton (2,2 persen dari beras 45 juta ton setahun).
"Melalu hitungan ini maka kerugian keekonomian ditaksir Rp10 triliun," tandasnya.