JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pimpinan Rumah Amanah Rakyat (RAR) Ferdinand Hutahaean mengatakan, pernyataan presiden Jokowi soal penurunan daya beli masyarakat dalam acara dengan para pengusaha baru-baru ini seolah memberikan pesan peringatan pada pihak-pihak yang berbeda pendapat.
"Kemarin dalam sebuah acara bersama Kamar Dagang dan Industri atau KADIN Indonesia, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo kembali melontarkan pernyataan-pernyataan yang mengandung makna dan membawa pesan kegelisahan dan mungkin bernilai sebuah kemarahan dari Presiden," kata dia pada wartawan di Jakarta, Rabu (04/10/2017).
"Sebuah ketidaksenangan bila tak layak disebut kemarahan, namun yang pasti Presiden tampak tidak suka dan tidak senang dengan berita tentang penurunan daya beli masyarakat," sambungnya.
Yang kedua, ungkapnya, pernyataan Presiden tentang teroris justru dari kita.
"Presiden seolah menjustifikasi dan memberikan stigma bahwa bangsa ini adalah bangsa penghasil teroris," tandasnya.
Menurutnya, hanya untuk membenarkan visa bebas kebijakan politiknya, Presiden tanpa rasa kuatir membenarkan bangsa ini bangsa teroris dengan menyebut justru teroris kan dari kita.
"Menyedihkan, karena pernyataan presiden ini akan mengamini tudingan asing yang menuduh Indonesia negara radikal dan penghasil teroris. Unik memang meski cenderung asal bicara, pernyataan itu dikeluarkan seorang Presiden," katanya.
Meski kedua pernyataan itu menarik dibahas, lanjut dia, namun kali ini saya memilih membahas kata lawan politik yang dituduhkan Presiden sebagai penyebab munculnya berita tentang penurunan daya beli masyarakat.
Presiden tampaknya merasa bahwa penurunan daya beli masyarakat itu hanya isu yang digoreng, bukan fakta dan bukan realita ditengah publik, katanya.
"Inilah keprihatinan paling dalam ketika seorang presiden ternyata tidak bisa merasa dan hanya bisa merasa. Orang Jawa bilang, harus biso rumongso ojo rumongso biso," sindirnya.
Sebagai seorang Jawa, saran dia, tanpa bermaksud rasis, mestinya petuah-petuah leluhur seperti itu harus diingat. Agar tidak selalu merasa bisa tapi harus lebih bisa merasa.
"Pertanyaan yang kemudian muncul dari sini adalah, Siapa Lawan Politik yang dimaksud oleh Presiden Jokowi? Mengapa Presiden tidak juga bisa merasakan penurunan daya beli masyarakat? Mengapa Presiden tidak juga bisa merasakan beban bertambah berat yang dirasakan rakyat? Mestinya semua ini dengan mudah dirasakan Presiden karena rajin blusukan dan bagi-bagi sepeda ke rakyat. Tapi mengapa Presiden tak bisa merasakan? Ini aneh," sindirnya.
Tampaknya, kata dia, Presiden lebih banyak dapat bisikan dari politisi tentang keadaan ekonomi daripada masukan dari ekonom yang mandiri.
"Jika itu benar, menjadi wajar ketika Presiden menuding lawan politik sebagai penebar berita tentang penurunan daya beli masyarakat. Bisikan politisi itu jugalah yang mungkin membuat Presiden Jokowi lupa dan tidak percaya bahwa Badan Pusat Statistik Negara pernah merilis data hasil survei BPS tentang penurunan daya beli masyarakat," tandasnya.
Apakah BPS yang lembaga negara juga lawan politik Presiden Jokowi? Selain itu kalau tidak salah Menteri Keuangan pun pernah mengakui itu. Jadi lantas lawan politik yang dimaksud oleh Jokowi siapa?
Sedikit mundur kebelakang ke periode september, berita tentang penurunan daya beli ini memang menyeruak tinggi ditengah publik.
Penyebabnya adalah harga naik tapi penghasilan tidak meningkat. Pencabutan subsidi listrik tentu menambah pos pengeluaran rakyat yang berdampak pada penurunan daya beli.
Ini fakta-fakta kecil dan sedikit saja sebagai penyebab penurunan daya beli masyarakat.
Belum lagi setoran pajak yang terus membebani rakyat dan naiknya retirbusi serta pungutan lainnya seprti jalan tarif jalan tol, ongkos angkutan dan lain-lain.
"Intinya, pengeluaran bertambah besar tapi pendapatan rakyat tidak bertambah karena ekonomi kita memang sedang menurun," pungkasnya. (icl)