Opini
Oleh Poetra Adi Soerjo (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) pada hari Selasa, 06 Mar 2018 - 15:16:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Jeritan Seorang Alumni UIN Sunan Kalijaga

39Alumni-UINYogya.jpeg
Poetra Adi Soerjo (Sumber foto : Istimewa)

Beliau memiliki pikiran maju dan moderat, ahli filsafat dan maqosid syariah, namun entah apa yang membuat beliau gagap berhadapan degan narasi filsafat tentang tubuh dan simbol.

Sama-sama sebagai ekspresi suatu kesadaran, gondrong boleh, celana sobek boleh, tapi cadar tak boleh (Kampusku IAIN Sukijo).

Aku termasuk cukup dekat dengan rektor IAIN Sukijo, beberapa kali aku ke rumah dan pondok beliau berdiskusi hingga tengah malam buta.

Kampus adalah tempat paling bebas dan aman bagi ekspresi segala kesadaran dan pengetahuan, kekerasan dan pemaksaan tak dikenal di kampus, itulah kenapa polisi tak boleh masuk kampus menangkap mahasiswa, kampus mengelola segala perbedaan dengan nalar akademik.

Al Azhar di Mesir menjadi kampus terkenal tempat bersemainya narasi keilmuan Islam karena ia mempertahankan tradisi lingkungan akademik, anda bisa gugat Tuhan di kampus.

Azhari sebagai sebutan alumni Al Azhar begitu beragam, ada yang salafi, ada yang ihwan, ada yang sufi, semua bunga-bunga pikiran Islam hidup harmoni bermekaran menambah kekayaaan khazanah keilmuan Islam.

Tak ada larangan anda bermazhab apapun di Al Azhar, karena memang kampus menjadi ruang bebas bagi dialektika dan kontestasi sgala ide dan gagasan dengan segala pendekatannya.

Al Azhar sebagai kampus memberikan arena yang adil bagi kontestasi segala ide, demikianlah maka Azhariyun menjadi cendikia yang begitu kaya dengan khazanah keilmuan dan sedari awal terdidik untuk toleran dengan segala perbedaan.

Sementara itu, di kampus putih tercinta IAIN Sunan Kalijaga, sang rektor sibuk memberi nalar kedunguan pada narasi tentang filsafat tubuh dan sistem tanda penanda.

Padahal di era 2.000-an dialektika wacana anak-anak IAIN sudah sampai pada kritik nalar wacana Al Quran, sebagai dialektika akademik itu bebas di kampus.

Kampus justru harus mengambil untung dari rational publik discourse dan dialektika keilmuan mahasiswa dengan mazhab dan pendekatan yang beragam.

Demokrasi memberi hak hidup pada segala identitas, namun lucu, atas nama demokrasi sub kultur vandalisme ditolelir dan simbol kesadaran beragama disingkir.

Kampus lah tempat paling aman bagi akal, diri, jiwa, harta dan keturunan untuk mengekspresikan sgala kesadaran diri, ekstrimisme pengetahuan dengan sendiri nya terpangkas oleh metode ilmiah dan diskursif keilmuan.

Cukup shock mendengar orang cerdas yang kukenal selama ini ikut cawe-cawe dalam urusan kulit dan permukaanisme, ia lupakan isi dan termakan narasi proyek Islamophobia.

Apakah sekelas Profesor tak mampu menyelesaikan masalah dengan beradu argumentasi secara akademik untuk sama-sama saling memahami dengan mereka yang bercadar hingga harus mengambil jalan otoriter melarang mahasiswi bercadar.

Prof Yudian Wahyudi Asmin titip kampusku tetap menjadi ladang persemaian ilmu paling indah bagi dialektika ragam perbedaan, dari perbedaan itulah dulu kami belajar tentang perbedaan dan toleransi.

Aku telah lama berdamai memahami keyakinan Salafi, Syiah, Kristiani, Yahudi, bahkan Atheis sekalipun, aku bisa hidup rukun berdampingan dengan siapapun, lalu kenapa kampusku jeblok sibuk mengusik perbedaan, alergi dengan cadar.

Pak Rektor, hela lah nafas, maknai langit pahami bumi, apakah rational yang jilbab sexi pamer dada dibiarkan dan yang cadar dikeluarkan dari kampus? Ini kampus Islam prof.

Prof jalanlah ke kota Dubai, di mall-mall kita bisa lihat betapa harmoninya hidup manusia, mereka mayoritas bercadar tapi tak risih hidup guyub dengan mereka yang paha terbuka dan lengan telanjang, lalu kenapa di kampus Islam anda risih dengan cadar, dimana Islam Nusantara yang toleran dan moderat itu?

Prof, sebagaimana dikau memahami tahlil yasinan dan ngaji di kubur sebagai keyakinan yang kau gigit erat meski seperti bara api, maka demikianlah keyakinan mereka akan cadar, nalar akademik apa yang membuat anda memaksa orang menanggalkan keyakinannya.

Jika dengan jin setan dan mereka yang telanjang saja kita bisa saling memahami tuk saling berbagi peran, lana a’maluna walakum a’malukum, lalu kenapa kita tak bisa berdampingan hidup memahami keyakinan mereka yang bercadar?

Prof, kita berteman, namun maafkan daku mengambil jalan menentangmu, bersiaplah menghadapi PTUN jika dikau bersih keras mengeluarkan mahasiswi bercadar, IAIN kampus negeri milik negara, pendidikan adalah hak dasar warga negara

Prof, anda salah memahami keyakinan.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #cadar  #uin-yogyakarta  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Digitalisasi Salah Satu Kunci Genjot Pertumbuhan Ekonomi

Oleh Uchok Sky Khadafi Aktivis 98, Direktur Eksekutif Center for Budget Analisys (CBA)
pada hari Selasa, 05 Nov 2024
Kondisi ekonomi global dalam beberapa tahun belakangan ini dihadapkan pada ketidakpastian. Selain dipicu perang Rusia-Ukraina, ketidakpastian ekonomi global juga terjadi imbas perang dagang antara ...
Opini

Blockchain Untuk Koperasi Indonesia

Sejak kemerdekaan, koperasi di Indonesia berkembang sebagai simbol ekonomi rakyat yang berbasis gotong royong, berperan penting dalam upaya mewujudkan kedaulatan ekonomi. Pada masa awal, koperasi ...