JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing ikut menyoroti polemik daftar 200 Mubaligh yang dirilis Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin.
Menurut Emrus, situasi gaduh saat ini tak lepas dari akibat komunikasi Lukman yang tidak cakap dalam mengkomunikasikan proses kebijakan sertifikasi tersebut.
Emrus mengkritik langkah Lukman yang tidak melibatkan pihak-pihak terkait dalam merumuskan kebijakan itu.Tidak ada partisipasi publik, khususnya para ulama dan ormas-ormas Islam.
"Jadi, kelemahan dari kebijakan ini adalah Menteri Agama terkesan jalan sendiri dan diam-diam. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan daftar rilis itu. Inilah yang kemudian mengundang tafsir-tafsir liar di masyarakat dan berujung gaduh. Karena memang tidak ada partisipasi publik. Tidak ada proses komunikasi kebijakan publik, terkesan tertutup dan buru-buru," kata Emrus kepada TeropongSenayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Emrus berpendapat, seharusnya Menteri asal PPP itu sebelum merilis daftar dai terlebih dahulu membuat kajian danstandardisasi tertentu bersama dengan pihak terkait.
"Ini kan tidak, masyarakat dan ormas Islam tidak dilibatkan. Meskipun, saya sih melihat niatnya baik, tapi sebelum (kebijakan) dikeluarkan idealnya dikomunikasikan dulu ke publik; pendapatnya para ahli gimana, ulama gimana, pakar gimana, ormas Islam gimana. Proses itu mestinya dilakukan mulai dari ide dan proses perencanaan, dikaji dulu dengan cermat dan matang. Dengan begitu, maka masukan semua pihak merasa diakomodir sebelum kemudian dirumuskan jadi satu standarisasi rujukan," jelas Emrus.
PPP dan Jokowi Dirugikan?
Saat disinggung soal dampak kegaduhan ini terhadap PPP maupunJokowi jelang Pemilu 2019, menurut Emrus hal itu tidak berkorelasi secara langsung.
"Secara komando dia (Lukman) memamg dibawah kabinet Presiden Jokowi, bukan partai (PPP). Tapi, saya kira tidak juga akanberdampakkepada PPP sebagai partai Menag," katanya.
Emrus memandang, kebijakan sertifikasi ini belum tentu merupakan kebijakan atau atas restu Jokowi. Tetapi, tidak salah juga jika publik menganggap hal inisebagai penjabaran Menteri Agama terhadap garis-garis besar yang ditetapkan Jokowi.
"Beda cerita, kalau kebijakan ini diputuskan oleh Gibernur, Bupati dan Wali Kota, pasti partainya akan terkena dampaknya secara langsung," urai Emrus.
Lebih jauh, Emrus menambahkan, sebaiknya Kementerian Agama tidak hanya mengatur sertifikasi penceramah satu agama saja.
Menurut dia,mestinya hal serupa juga diberlakukan kepada semua agama-agama di Indonesia. Mengingat, di agama lain tidak tertutup kemungkinan ada gejala serupa.
"Ini kan kelemahan juga,kalau yang diatur cuma satu agama, bisa terkesan ini (kebijakan) memang sengaja ditujukan kepada agama atau aliran tertentu saja. Kenapa agama-agama lain tidak dilakukan sertifikasi?, masyarakat kan bertanya-tanya,"ungkap Emrus.
"Maka itu, saya punya pendapat sertifikasi ini harus diperlakukan sama kepada semua agama-agama di Indonesia. Mereka tidak boleh berseberangan dengan semangat Pancasila dan semangat Kebhinekaan kita," katanya.
"Kita tahu, selama ini kan ada juga kalimat-kalimat bernada eksklusif, biasanya mereka penggunaan kalimat; 'seperti agama tetangga sebelah'. Nah, yang model begini ini juga perlu ditertibkan," Emrus mengingatkan.
Sebab, menurut dia, hal tersebut juga tidak baik dalam upaya pemerintah menjaga semangat persatuan dan kesatuan.
"Harus dihindari lah dari komunikasi-komunikasi begitu, semua tokoh agama harus ikut menjaga. Pemerintah tidak boleh membiarkan khutbah-khutbah apapun dan di agama manapun yang bernada eksklusif. Jangan ada tindakan atau kalimat yang menyebar paham eksklusif. Karena itu sangat berbahaya dan akan rentan merusak semangat persatuan dan kesatuan berbangsa kita," pungkas Emrus. (Alf)