Pada lawatan perdana Jokowi ke luar negeri akhir tahun lalu, yakni di Forum CEO Internasional di Beijing dan forum kepala negara anggota - anggota OPEC di Brisbane, berkali-kali Jokowi menyingung soal restrukturisasi ekonomi nasional Indonesia agar dapat memberikan kemudahan bagi para investor global untuk memarkir modalnya di dalam negeri. Di dalam dua forum tersebut, Jokowi memberi penekanan lebih pada masalah restrukturisasi harga BBM domestik yang imbas positifnya bisa mempertebal porsi belanja infrastruktur.
Relasi logis antara prioritas pembangunan infrastruktur dengan kemudahan-kemudahan bagi investor global nampaknya memang sengaja di-set sedemikian rupa agar benar-benar “match” dan “mutual simbiosis”. Sehingga tak heran setelah itu, ekonom Unibraw, Ahmad Erani Yustika, memberi label pada mimpi infrastruktur pemerintah ini sebagai “infrastruktur fasilitasi” alias infrastruktur elitis yang sengaja diadakan untuk memfasilitasi masuknya modal-modal luar negeri seperti infratruktur yang berbasiskan konektifitas (tol laut, pelabuhan, jalan, dll). Sementara itu disisi lain, yang benar-benar sedang dibutuhkan oleh rakyat dan pelaku usaha dalam negeri adalah infrastruktur pelayanan dasar seperti irigasi, sanitasi, edukasi, dan pelayanan kesehatan dasar lainnya.
Infrastruktur pelayanan dasar ini dipercaya oleh sebagian ekonom kritis sebagai proyek infrastruktur yang bisa menguatkan kemandirian ekonomi masyarakat Indonesia. Karena di satu sisi selain bisa mengurangi biaya hidup yang kian berlipat, di sisi lain juga bisa menambah daya saing sumber daya manusia Indonesia yang akan menopang keberlanjutan usaha-usaha pemodal dalam negeri ke depannya. Namun, nampaknya Jokowi membutuhkan suntikan modal internasional yang jauh dari perkiraan banyak pihak.
Pada World Economic Forum di Hotel Shangrila, Jakarta yang menjadi salah satu rangkaian acara dari Konferensi Asia Afrika, Jokowi malah mempertegas kembali posisi ekonomi politiknya, baik secara ideologis maupun secara strategis. Dengan sedikit melebih-lebihkan keadaan, Jokowi berpesan kepada semua peserta jika seandainya para investor-investor yang berasal dari negara mereka mengalami kendala investasi, maka bisa langsung menghubungi beliau. “If you have any problem, call me,” begitu kira-kira ucapan beliau.
Saat membaca berita ini, saya teringat kembali prediksi-prediksi ekonomi yang pernah saya tulis di harian ini beberapa waktu lalu soal paket ekonomi yang direncanakan Jokowi untuk membendung pelemahan rupiah. Ternyata memang benar bahwa paket ekonomi yang berisi enam jurus teknis tersebut tidak di-endorse untuk menguatkan rupiah dalam jangka pendek. Faktanya, untuk turun melewati angka Rp 12.800 per dolar saja susahnya minta ampun karena memang pemerintah tidak mendisain paket ekonomi ke arah itu. Bahkan saat BPS merilis data neraca perdagangan beberapa waktu lalu, rupiah nampaknya tidak memberikan respon signifikan meskipun terdapat surplus ekspor yang seharusnya bisa menjadi faktor pendorong appresiasi mata uang domestik. Mengapa? Karena ternyata surplus yang terjadi bukan disebabkan oleh peningkatan kapasitas dan kuantitas ekspor kita, tapi surplus terjadi karena penyusutan impor yang cukup terjal, terutama untuk barang modal dan barang mentah yang hampir mencapai 16%.
Artinya, aktivitas sektor produksi dalam negeri yang berbasiskan pada barang modal dan barang mentah impor mengalami penurunan, bahkan diperkirakan bisa sampai satu semester kedepan. Inilah salah satu sebab fundamental mengapa rupiah “ogah” menguat signifikan dan hanya bereaksi positif beberapa puluh basis point saja setelah data neraca diumumkan. Justru anehnya, beberapa hari belakangan rupiah malah kembali mendekati angka Rp 13.000 per dollar.
Menurunnya impor yang akhirnya membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi surplus tentu sudah bisa diprediksi sebelumnya. Pasalnya, paket ekonomi yang digulirkan pemerintah tidak mampu membawa rupiah kembali ke ayunan Rp 12.000-Rp 12.500 yang akhirnya membegal kapasitas impor dari penguasaha-pengusaha dalam negeri. Padahal, impor exposure kita terhadap barang modal dan barang mentah tergolong cukup tinggi. Artinya, jika terjadi penurunan, maka akan sangat berimbas negatif terhadap aktivitas produksi dalam negeri. Dan ini tentu akan membuat fundamental ekonomi domestik menjadi sesak nafas dan akan sangat sulit dipaksakan untuk mampu menopang pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya.
Maka tidak perlu heran jika banyak lembaga kajian dan lembaga perbankan internasional yang meragukan target pertumbuhan ekonomi yang 5,7 % tahun ini akan tercapai. Karena selain penurunan kapasitas fundamental ekonomi nasional, performa ekonomi global pun ternyata semakin tak menggembirakan. Sehinga di satu sisi terjadi pengempesan sektor produksi dalam negeri yang juga berimbas pada penurunan exposure import, di sisi lain juga tak terjadi ledakan ekspor yang signifikan karena stagnasi permintaan global.
Jika memakai perspektif yang sedikit berbeda, hal ini bisa juga diartikan bahwa pemerintah, sejak debut pertamanya sampai hari ini, memang sudah membidik pemodal-pemodal internasional sebagai sasaran pemenuhan nafsu pertumbuhan yang tujuh persen pada tahun ketiga itu, tanpa peduli apakah pertumbuhan itu lahir dari penguatan ekonomi domestik atau dari banjirnya modal-modal global. Dengan kondisi ekonomi domestik yang kian berbiaya tinggi, tentu keberpihakan Jokowi pada investor-investor global yang nampaknya sudah cukup berlebihan itu menjadi feed back yang mengecewakan di mata publik.
Jokowi dan segenap Kabinetnya terus-menerus mengikis segala rupa subsidi untuk barang publik yang juga secara serta merta akan mengikis daya beli (purchasing power) masyarakat. Melemahnya daya beli ini kemudian akan menurunkan tingkat konsumsi, baik rumah tangga maupun sektor usaha dalam negeri, dan akan ikut melambatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dan akhirnya rupiah benar-benar “ogah” keluar dari zona negatif karena tidak meendapat dukungan riil dari fundamental ekonomi domestik.
Mau tidak mau, seperti yang sering diutarakan pemerintah, kondisi ini akan memurahkan biaya investasi dalam negeri bagi investor-investor yang berkocek non rupiah alias pemodal global, bukan bagi pemodal-pemodal domestik. Kondisi ini memang murah bagi investor internasional, tapi mahal bagi masyarakat menengah ke bawah (mayoritas) dan pelaku-pelaku ekonomi domestik.
Jadi pertanyaan krusialnya adalah apakah pemerintah memang sedang membangun Indonesia? Atau malah sedang menjual Indonesia secara pelan-pelan?
Penulis adalah Pemerhati Ekonomi Politik
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #jokowi #presiden jokowi #konferensi asia afrika