JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Pengacara terkemuka Otto Hasibuan berharap, majelis hakim Tipikor Jakarta yang mengadili perkara Syafruddin Temenggung memperhatikan betul detail bukti-bukti dan memutus dengan hati nurani, tanpa perlu takut dari tekanan pihak manapun. Hakim harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan, seperti adagium 'lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah'.
Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN 2002-2004) Senin depan (24/9) akan menghadapi vonis hakim setelah menjalani proses persidangannya sejak 14 Mei lalu.
Perbuatan melawan hukum yang didakwakan kepadanya adalah memberikan surat keterangan lunas yang memperkaya orang lain dan korporasi sehingga menimbulkan kerugian negara. Jaksa Penuntut Umum menuntutnya 15 tahun penjara dan subsider Rp 1 miliar.
Otto dalam siaran persnya, Jumat (21/9/2018) menilai, apa yang dilakukan KPK memperkarakan SAT sangat tidak adil dan tidak boleh terjadi. Dia menunjuk pada Inpres No. 8/2002 yang sampai sekarang masih berlaku tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur BLBI yang menyelesaikan kewajibannya.
Juga UU dan dua Ketetapan MPR, serta pernyataan resmi pemerintah kepada DPR yang semuanya menegaskan bahwa pihak yang telah menyelesaikan kewajibannya tidak akan diproses hukum dan seluruh proses penyelidikan dan penyidikan dihentikan. Ia juga meminta untuk tidak menafikan laporan hasil pemeriksaan BPK di tahun 2002 dan 2006.
Ketua Dewan Pembina Peradi itu mengingatkan, "KPK itu seperti yang dinyatakan oleh MK adalah bagian dari eksekutif, meski dia independen. Lagipula pada kejadian dulu itu KPK belum ada. Karena dia bagian dari pemerintah dan pemerintah sudah berjanji kepada warga negaranya, seharusnya diikuti juga oleh KPK. Seharusnya, KPK ikut dengan keputusan pemerintah sebelumnya. Jangan men-destroy. Kalau begini halnya, seperti ada negara di dalam negara".
Dakwaan dikenakan kepada SAT didasarkan pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017. Sesuatu yang menurut Otto Hasibuan sangat janggal karena audit tersebut dilakukan atas permintaan KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka.
Lebih janggal lagi, karena audit pesanan itu tidak independen dan sepihak yakni hanya berdasarkan data data yang melulu berasal dari KPK, tidak ada yang auditee (yang terperiksa)-nya. "Audit BPK ini jelas melanggar azas asersi, SPKN (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) dan menyalahi Peraturan no. 1 BPK sendiri," ujar Otto.
"Audit investigatif BPK 2017 itu menyatakan karena SKL diterbitkan maka timbul kerugian negara. Sebelumnya BPK—dalam auditnya tahun 2002 dan 2006—menyatakan karena semua kewajiban sudah diselesaikan maka layaklah diterbitkan SKL kepada SN. Jadi, ada 1 audit BPK yang bertentangan dengan 2 audit BPK sebelumnya," ujar dia.
Pengacara itu menuturkan bahwa sebelum meminta BPK melakukan audit, KPK sudah terlebih dahulu (Maret 2017) menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. Artinya KPK telah menyimpulkan terlebih dahulu adanya kerugian negara, baru kemudian pada bulan April 2017 meminta BPK melakukan audit investigasi.
"BPK dalam melakukan audit hanya menggunakan data yang sudah dipilah-pilah oleh KPK, tanpa melakukan pengumpulan data secara independen. Proses audit dilakukan tanpa ada pihak yang diperiksa (auditee), dimana Syafruddin dan pihak-pihak terkait, termasuk Kementerian Keuangan, tidak pernah dikonfirmasi atas data-data yang disodorkan penyidik KPK," ujar dia.
Jadi, bagaimana mungkin bisa mendapatkan hasil yang independen dan benar? Kerugian negara timbul, karena perhitungannya berdasarkan data KPK sendiri. Namun kalau seandainya ada auditee dan ditanya. Tentu akan berbeda hasilnya," lanjut Otto.
Otto Hasibuan yang kebetulan adalah penasehat hukum Sjamsul Nursalim mengatakan bahwa pokok persoalan yang didakwakan kepada SAT adalah simpel, yakni sangkaan adanya misrepresentasi (misrep) oleh Sjamsul Nursalim (SN), salah satu peserta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam rangka penyelesaian Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI).
SAT dianggap menghapus piutang BDNI itu, padahal SN selaku pemegang saham BDNI dianggap masih belum memenuhi kewajibannya sehubungan dengan utang petambak DCD (Dipasena Citra Darmaja) dan Wahyu Mandira. Misrep itu pada kesaksian dan fakta hukum di persidangan ternyata tidak ada dan tidak pernah terjadi.
Dalam dakwaan terhadap SAT disebut SN masih berutang, padahal utang itu bukan punya dia. Itu utang BDNI dan tanggungjawab SN sebenarnya hanya sebatas saham yang dipegangnya di BDNI. Namun dengan itikad baik secara sukarela, dia bersedia ikut menyelesaikan kewajiban BDNI.
Dibuatlah perhitungan oleh BPPN berdasarkan neraca penutupan BDNI per 21 Agustus 1998 yang disusun BPPN, yaitu utang BDNI itu Rp.47,258 triliun, dikurangi aset BDNI sebesar Rp18,85 triliun, menjadi Rp 28,4 triliun, yang disepakati menjadi tanggung jawab SN. Selanjutnya dibuatlah MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) pada 21 September 1998 yang menentukan kewajiban yang harus dibayar SN tersebut dan mekanisme pembayarannya.
"Kewajiban yang Rp28,4 triliun itu dibayar SN secara tunai setara Rp.1 triliun, dan sisanya dengan penyerahan aset-aset miliknya berupa sejumlah perusahaan," ujar Otto.
"Jadi kewajiban SN timbul karena dia menandatangani MSAA. Tanpa adanya MSAA, SN sebagai pemegang saham tidak punya kewajiban untuk membayar berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang berlaku saat itu," tambah Otto lagi.(yn)